Esok harinya, saya dibantu teman yang sering menonton langsung laga away utuk mendaftar di fans shop Viking. Kamis pagi seluruh bobotoh berkumpul di lapangan Gasibu. Puluhan bis datang satu per satu hingga siang tiba. Setelah semua berkumpul, tak menunggu waktu lagi, ribuan bobotoh dilepas oleh gubernur Jabar Pak Ahmad Heryawan. Saya berada di bus 6, dalam perjalanan semuanya baik-baik saja. Para penumpang cukup enjoy menikmati perjalanan dan alunan lagu Doel Sumbang.
Suasana berubah saat rombongan memasuki daerah ibu kota, beberapa orang yang kami duga The Jakmania menunggu di pinggiran jalan tol lalu kemudian melempari bis yang kami tumpangi. Sempat mencekam juga sih, beruntung batu yang mereka lempar hanya mengenai bagian belakang bis. Setelah mendapatkan teror, seluruh penumpang mulai waspada. “Awas batu awas..” “Tahan pake kantong tahan...” suasana di dalam bis kembai gaduh saat kami mendapatkan serangan lagi. Haduh, lumayan juga nih bikin adrenalin naik turun. Jumlahnya tidak terlalu banyak, cuma memang mengganggu perjalanan.
Hingga akhirnya semua bis berkumpul di pinggir jalan, hampir semua bis mengalami kaca pecah, termasuk bis 6 yang saya tumpangi. Namun kondisinya tak separah bis-bis yang lain. Setelah semua bis berkumpul, polisi yang mirip polisi India datang terlambat dan mengawal hingga kondisi aman. Kami tiba di Merak sekitar pukul 7 malam, dan sampai ke kota Palembang keesokan harinya sekitar pukul 3 sore. Dalam perjalanan dari Lampung ke Palembang relatif cukup aman, namun hampir di semua bis telah menyiapkan batu karena masih ada ketakutan mendapatkan lagi serangan. Namun batu-batu itu semua tak berarti, yang ada malah harus kami buang karena mendapat kabar adanya razia dari kepolisian setempat. Setelah masuk ke dalam SOR Gelora Sriwijaya, saya merasa ada di kampung halaman sendiri. Bagaimana tidak, bahasa orang-orang yang berada di sana adalah bahasa Sunda. Edan, Persib beruntung memiliki bobotoh yang fanatik, aya dimana-mana lur. Setelah mendapatkan tiket timur dengan harga yang jarang ditemui di Bandung, yaitu sebesar 20.000, saya dan teman-teman kampus langsung mengantri di pintu timur yang antriannya sudah sekitar 100 meteran. Yel-yel dari puluhan ribu bobotoh yang sudah berada di dalam membuat saya tidak sabar untuk segera bergabung. Beruntung, posisi duduk di tribun berada tepat sejajar dengan garis tengah lapangan.
Tak perlu saya ceritakan jalannya pertandingan, karena saya yakin jutaan bobotoh sa alam dunya sudah tahu bagaimana serunya laga final tersebut. Peristiwa yang saya kira perlu dicatat adalah ketika Persib berhasil unggul 2-1 untuk sementara. Teriakan “JUARA! JUARA!” begitu menggema di dalam stadion. Saya sendiri, tidak mengucapkan kata “juara”, karena masih diliputi ketegangan. Hayu ngadua lur, masih keneh panjang waktu, urang can juara. Kalimat yang saya ucapkan dalam hati. Situasi di lapangan menambah ketegangan saat melihat aksi Pahabol yang mengacak-acak pertahanan Persib. Betul saja, dimulai dari aksinya dari sayap kanan, Persipura mampu menyamakan kedudukan, 2-2. Dipimpin oleh Yana Umar dan Jayalah Persibku, bobotoh tanpa henti memberikan dukungan pada para pemain. Saya salut, mang Yana tanpa henti-hentinya mengarahkan bobotoh untuk tidak menyanyikan lagu rasis. Dalam suatu moment, bobotoh harus kecewa terhadap aksi Vujovic yang melakukan tindakan yang merugikan tim, hingga harus di kartu merah. Bobotoh juga sempat kecewa terhadap coach Djanur yang tidak mengganti Mas Har yang sudah terpincang-pincang. Beruntung, gawang Persib tidak kebobolan sampai laga 120 menit usai.
Saat drama adu penalti, saya tak menyaksikan 8 tendangan yang dieksekusi para pemain Persib dan Persipura. Hanya, setelah bobotoh bersorak ketika I Made berhasil memblok tendangan Nelson Alom, saya beranjak dan mengabadikan tendangan yang dilakukan oleh Jupe. Saat gol terjadi, teriakan, tangis haru para bobotoh pecah. Persib juara! Persib juara! Akhirnya, saya menjadi saksi saat Maung Bandung berhasil menjadi juara lagi setelah 19 tahun tanpa gelar. Malam itu merupakan malam yang tidak akan terlupakan, bahkan ketika menyaksiskan kembali pertandingan final, rasa haru masih berbekas.
Ketika Persib juara, apakah sepenuhnya tenang? Belum, kawan. Saat pulang, rival ibu kota pasti telah bersiap menghadang kami. Berbagai kabar berita mengekspos kerusakan bis bobotoh oleh kelompok suporter lain. Kabar-kabar di media sosial juga tak mau kalah memberitakan hal-hal yang anarkis dan mencekam, walaupun saya kira banyak yang dilebih-lebihkan. Setelah menyebrang lautan dan tiba di pelabuhan Merak, konvoi bus bobotoh terpecah.
Bus yang pulang lebih dulu mendapat serangan di wilayah ibu kota. Sementara, bus yang saya tumpangi mendapat briefing terlebih dahulu dari pihak kepolisian, yang juga seorang bobotoh. Jujur, saat itu tiada kata lain selain perang, karena polisi pun tidak akan dapat banyak membantu dengan jumlah yang sangat sedikit. Beruntung, polisi yang mengawal dapat berkoordinasi dengan baik dengan polisi yang berada di ibu kota. Kami melihat sekelompok orang yang berlarian di setiap jalan raya karena kena sweeping polisi. Kami hanya tertawa di atas bis melihat kelakuan orang-orang yang mungkin kelompok suporter. Padahal sudah pukul satu malam. Ah, entahlah apa yang dipikiran mereka. Fanatisme berlebihan yang tidak disertai kedewasaan memang terkadang menyimpang. Semoga, pertikaian ini cepat berakhir. Pukul 5 pagi, kami tiba di Gasibu dengan kondisi kaca pecah. Sambutan dari rekan-r
Mantap bro ! Terharu baca nya. Dan slalu terharu tiap liat moment2 "gila" persib di youtube !
BalasHapusMantap bro ! Terharu baca nya. Dan slalu terharu tiap liat moment2 "gila" persib di youtube !
BalasHapus