Sepak bola merupakan olahraga invasi yang dimainkan oleh 22 pemain di atas lapangan hijau. Setiap pemain memiliki posisi yang berbeda, namun setiap unit posisi dalam satu tim harus tetap satu visi dan misi untuk memenangkan suatu pertandingan. Oleh karena itu, sepak bola identik dengan kerjasama tim. Tetapi, tidak sedikit tim yang memiliki ketergantungan terhadap beberapa pemain, bahkan peran dua atau tiga orang pemain yang menjadi andalan untuk meraih kemenangan.
Berikut duet-duet terbaik yang pernah lahir di persepakbolaan Indonesia.
1. Robby-Yadi-Mulyana
Trio menara milik Persib ini bukan racikan instan seorang Indra M Thohir, pelatih Persib saat itu. Abah Thohir mampu memadukan Robby Darwis (libero) dengan dua stoper lokal (Yadi Mulyadi-Mulyana) dalam formasi 3-5-2. Duet mereka telah memberikan gelar kompetisi Perserikatan edisi terakhir dan gelar juara Liga Indonesia pertama tahun 1995. Dalam babak penyisihan yang menggelar 32 laga, hanya 15 gol yang bersarang ke gawang Anwar Sanusi. Raihan itu menjadi yang terbaik dan lebih bagus dibandingkan pemuncak klasemen wilayah barat, Pelita Jaya, yang kemasukan 10 gol lebih banyak. Di babak delapan besar (3 laga) Persib hanya kebobolan satu gol dan membawa Pangeran Biru lolos ke semi final. Hingga meraih gelar di partai puncak, gawang Persib tetap cleansheet berkat penampilan lugas trio lini belakangnya.
2. Dejan Gluscevic-Peri Sandria
Mereka adalah duet striker Bandung Raya di era Liga Indonesia. Keduanya mampu membawa Bandung Raya lolos ke babak 8 besar di LI I. Pada musim yang dijuarai oleh Persib tersebut, Peri Sandria menyabet gelar top skor dengan 34 gol yang hingga saat ini masih menjadi rekor yang belum bisa dilampaui. Di tahun selanjutnya, giliran Dejan yang menjadi top skor dengan torehan 30 gol dari 33 laga. Tahun itu pula MBR mampu menjadi jawara setelah mengalahkan PSM di partai puncak. Duet ini kembali mampu mengantarkan MBR ke partai final secara berturut-turut di tahun 1997, namun kali ini MBR takluk dari tim Persebaya.
3. Ilham Jaya Kesuma-Zaenal Arief
Persita beruntung memiliki duet striker lokal ini. Pada tahun 2002, Pendekar Cisadane tampil di partai puncak Liga Indonesia VI karena berkat duet mautnya ini, walaupun gagal meraih gelar juara karena kalah dari PSM dalam perpanjangan waktu. Ilham yang saat itu merupakan tumpuan timnas Indonesia menerima gelar ganda sebagai pemain terbaik dan top skorer dengan menceploskan bola sebanyak 26 gol. Begitupun sang bintang baru Zaenal Arief yang mencetak 17 gol.
4. Supardi-Ridwan
Keduanya telah bersama-sama di tiga tim berbeda, yaitu Sriwijaya FC, Pelita Jaya, dan Persib Bandung. Bersama Sriwijaya, duet yang sering beroperasi di sayap kanan ini berhasil memberikan gelar juara kedua bagi SFC pada LSI edisi ke-4. Begitupun saat pindah membela Persib, pada musim keduanya berkostum Maung Bandung, kedua pemain ini mampu memberikan gelar juara setelah 19 tahun Persib tanpa gelar. Supardi-Ridwan merupakan salah satu otak serangan Persib saat menjuarai SI 2014.
5. Tugiyo-Ali Sunan
Duet ini berhasil membawa PSIS juara Liga Indonesia pada tahun 1999. Kedua pemain ini dikenal memiliki kemampuan berlari yang kencang disertai stamina di atas rata-rata pemain lain. Terdapat kontroversi pada keduanya, konon sebelum bertanding, mereka suka meminum darah ular cobra. Mungkinkah karena efek dari meminum darah cobra tersebut sehingga mereka memiliki stamina yang kuat?
6. De Poras-Hernan Ortiz
Emanuel De Poras adalah salah satu striker tajam pada musm 2006. Tidak sedikit gol yang dibuatnya berasal dari umpan-umpan sang gelandang jabrik, Hernan Ortiz. Duet Ortiz-De Poras berhasil membawa tim Mahesa Jenar lolos ke babak final, namun gagal meraih juara setelah dikalahkan Persik Kediri.
7. Danilo-Fagundez
Liga Indonesia XII merupakan musim terbaik bagi kedua gelandang asing milik Persik Kediri ini. Danilo Fernando, pemain asing yang sangat berpengalaman di Indonesia, mampu berkolaborasi dengan gelandang cerdas nan kreatif, Ronald Fagundez. Peran kedua gelandang ini sangat membantu duet striker tim Macan Putih yang ditempati oleh Budi Sudarsono dan Cristian Gonzales.
8. C Gonzales-Budigol
Sebelum berlaga di Liga Indonesia XII, saya sudah memprediksi bahwa Persik Kediri akan mampu bersaing untuk menjadi juara. Permainan menawan El Loco dkk. sudah terlihat saat mengikuti Piala Emas Bang Yoss. Gonzales yang bertipe sebagai finisher, memiliki duet sekaliber pemain lincah seperti Budi Sudarsono. Kecepatan yang dimiliki si ular piton dan positioning yang baik serta ditunjang dua gelandang kreatif, Persik Kediri dibawa menjadi juara Liga Indonesia 2006.
9. Zah Rahan-Kayamba
Tahun 2007, kompetisi terartas di Liga Indonesia adalah Divisi Utama. Tahun itu, merupakan musim ke XIII, kompetisi masih terbagi ke dalam dua wilayah. Sriwijaya FC, berhasil menjadi juara di kasta tertinggi liga divisi utama sebelum berevolusi menjadi Liga Super Indonesia setahun kemudian. Duet Zah Rahan dan Kayamba Gumbs berhasil membawa tim kebanggaan Palembang ini melaju ke partai puncak yang digelar tanpa penonton di stadion si Jalak Harupat, Bandung. Pada musim tersebut, Zah Rahan meraih gelar pemain terbaik, dan merupakan pemain asing pertama yang meraih gelar best player di kompetisi Liga Indonesia. Ia juga berhasil mencetak gol ketiga ke gawang kosong PSMS yang ditinggal maju Markus Horison di menit-menit akhir pertandingan. SFC menang 3-1 atas PSMS.
Oleh : Indra Jaya
Jumat, 27 Maret 2015
Sabtu, 14 Maret 2015
16 Pemain Asing Terbaik Persib
Persib adalah tim Indonesia yang paling lama bertahan dengan skuad pemain lokal dalam persepakbolaan nasional. Setelah berhasil menjuarai Liga Indonesia pertama tanpa pemain asing, Persib akhirnya membuka pintu bagi pemain asing delapan tahun kemudian pada musim Liga Indonesia IX tahun 2003, mereka adalah Piotr Orlinski, Mariusz Mucharsky, Pavel Bocjian, dan Maciej Dolega yang keempatnya berasal dari Polandia. Hingga Persib menjuarai Liga Super Indonesia 2014 setelah minim prestasi dalam 19 tahun, telah banyak pemain asing yang datang dan pergi mengisi skuad Pangeran Biru. Persib pernah menggunakan jasa pemain dari seluruh benua, namun tidak semua pemain asing tersebut memenuhi ekspektasi dari para pencinta Persib. Ada yang gagal, tentu ada juga yang dapat memberikan kontribusi pada tim Persib. Penulis memiliki penilaian tersendiri terhadap para pemain asing yang mampu memberikan kontribusi positif pada permainan Persib. Berikut nama-nama pemain asing yang penampilannya bersinar bersama Persib.
ZONA CONMEBOL
1. Claudio Lizzama (Chile)
Sebagai mantan pemain timnas Chile, penampilannya tidak mengecewakan. Pemain yang tidak memiliki rambut ini selalu tampil garang di barisan belakang bersama Dadang Hidayat dan Suwandi HS. Bahkan, tidak sedikit bobotoh yang menganggapnya sebagai salah satu pahlawan tim saat hampir terjerumus ke jurang degradasi di musim 2003.
2. Alenjandro Tobar (Chile)
Kaki kiri adalah kaki andalan pemain latin ini. Permainannya cukup tenang, datang bersama gerbong Lizzama, Tobar memberikan warna yang berbeda di lini tengah Persib. Sang play maker memiliki visi bermain yang sangat baik. Sayang, dia harus hengkang lantaran saat itu beredar kabar anti Chile di internal tim Persib dan bergabung dengan musuh bebuyutan, PSMS Medan. Bahkan saat kembali ke Bandung pada musim 2006, dia mencetak satu asist dan gol ke gawang Kosin, Maung pun terkapar di kandangnya.
3. Julio Lopez (Chile)
J-Lo, sapaan akbrabnya, pergi meninggalkan PSIS saat namanya telah melekat di hati para pendukung tim Mahesa Jenar. J-Lo memilih bergabung dengan tim biru dari Bandung saat menerima ajakan pelatih Juan Paez, yang sama-sama berasal dari Chile. Tetapi, kebersamaannya dengan Pangeran Biru tidak sampai akhir musim. Pemain gempal ini hanya bertahan satu musim dan namanya menghilang dalam skuad Persib dengan berbagai alasan kepergiannya.
4. Lorenzo Cabanas (Paraguay)
Pada awal ia bergabung dengan Persib, tidak sedikit bobotoh yang meragukan kemampuannya, terutama kondisi fisik. Bergabung pada tahun 2007 dari sang rival abadi Persib, Persija. Enzo kemudian menjadi roh permainan Persib dibawah asuhan Arcan Iurie. Duetnya bersama Suwita dan Eka Ramdhani dalam formasi 3-5-2 sempat membawa Persib keluar sebagai juara paruh musim. Pemain yang jarang bicara ini menjadi spesialis tendangan bebas dan pengumpan bola yang ciamik melalui kaki kidal andalannya. Sang inspirator juga memiliki kemampuan diving yang baik dan sering mengelabui wasit.
5. Hilton Moreira (Brazil)
Pemain asal Brazil ini masuk ke dalam skuad Persib melalui gerbong pemain dari tim Deltras yang dibawa Jaya Hartono pada tahun 2008, musim LSI edisi perdana. Sempat diragukan karena pamornya tidak setenar para pemain asing lainnya, Hilton menjelma menjadi pemain kesayangan bobotoh. Aksi pertamanya yang memikat hati bobotoh adalah saat Persib beruji coba dengan Sriwijaya FC dan ia yang membawa Persib memenangkan pertandingan dengan skor 1-0. Bersama Cristian Gonzales, duetnya di tahun 2009 merupakan salah satu duet maut di LSI. Namun cedera parah mengharuskannya pulang ke Brazil untuk menjalankan operasi. Saat pulang kembali ke Indonesia, ia sempat membela Sriwijaya FC, dan kembali berseragam biru-biru khas Persib Bandung.
6. Cristian Gonzáles (Uruguay)
Ketika membela Persib, El Loco masih berwarga negara Uruguay. Kedatangannya dari Persik Kediri mengejutkan semua pihak, bahkan kepindahan El Loco menurut penulis adalah yang paling menyedot perhatian bobotoh. Hal yang wajar, karena saat itu dia berpredikat sebagai top skor Liga dalam tiga musim terakhir. Bahkan, saat berseragam Persib, dia juga meraih tropi sepatu emas bersanding dengan Boaz Salosa yang sama-sama mengemas 28 gol (14 untuk Persik dan 14 untuk Persib). Pemain ini juga merupakan salah satu pemain yang sering mencetak hatrick bagi Persib.
ZONA CAF
7. Christian Bekamenga (Kamerun)
Adalah striker utama timnas U-23 Kamerun kala itu. Penampilannya tidak garang, tapi orang sunda bilang leuleus liat. Walaupun jarang tampil bersama Persib karena terbagi dengan penampilannya di timnas, Beka merupakan top skor tim pada musim 2007. Dia adalah predator yang pernah membobol gawang Persija sebanyak 2 gol pada saat Salim dkk mengalahkan Persija dengan skor 3-0 di musim yang sama. Namun sayang, pemain termahal Persib saat itu tersebut harus pergi saat liga belum berakhir, karena kontraknya habis dan bergabung dengan klub Nantes di Liga Prancis. Bekamenga ogah memperpanjang kontrak beberapa bulan ketika liga berjalan molor tidak sesuai jadwal semula.
8. George Clement Nyeck Nyobe (Kamerun) Harganya saat itu “hanya” sekitar 600 juta rupiah. Harga yang murah bagi seorang pemain asing. Namun jangan ditanya kontribusinya bagi tim. Nyeck adalah benteng tangguh Persib bersama Pato dan Nova Arianto di musim 2007. Tetapi di putaran kedua, Arcan Iurie membuat kesalahan saat melepasnya ke Persela demi mendapatkan Leo Chitescu dari PSM. Dalam peminjaman tersebut, Persela sepakat untuk tidak memainkan Nyeck pada saat timnya berduel dengan Persib di putaran kedua. Tahun 2008, ia kembali berseragam Persib berduet dengan Nova Arianto dan Maman Abdurahman.
9. Ekene Ikenwa (Nigeria)
Dialah sang raja tandang. Pemain asal Nigeria ini lebih “mamprang” ketika bermain di kandang lawan. Dengan postur tubuh yang tinggi, ia juga kerap mencetak gol dengan sundulan kepalanya.
10. Redouane Barkaoui (Maroko)
Datang pada musim 2006, musim yang sulit dilalui oleh Persib karena hampir terdegradasi. Namun penampilannya paling menonjol dibandingkan pemain asing lainnya di tim Persib, hanya saja si tari jaipong ini lebih sering terkena cedera. Dirinya dipertahankan oleh Arcan Iurie di musim 2007 dan harus bergantian bermain dengan Zaenal Arief jika Bekamenga tampil.
11. Makan Konate (Mali)
Usianya masih 23 tahun saat membela Persib Bandung, namun perannya begitu penting di sektor tengah Persib. Determinasinya oke, ditunjang fisik, skill dan visi bermain yang di atas rata-rata pemain lokal menjadikan Konate sebagai pemain asing yang mampu memberikan gelar juara bagi Persib.
ZONA UEFA
12. Miljan Radovic (Montenegro)
Sang Professor bola-bola mati. Begitulah julukan yang pernah diberikan oleh seorang komentator di televisi. Radovic memang memiliki keahlian sebagai penendang bola mati. Bahkan dirinya pernah mencetak hatrick saat melawan Persiwa di musim LSI edisi ketiga walaupun berposisi sebagai pemain tengah. Meski usianya sudah menginjak 35 saat itu, kemampuan fisiknya masih mampu mengimbangi para pemain yang lebih muda darinya.
13. Sergio Van Dijk (Belanda)
SVD bergabung dengan Persib melalui proses yang cukup panjang. Pemain yang kemudian mendapat kesempatan menjadi WNI ini dibanderol dengan harga tinggi untuk level kompetisi LSI. Tidak memiliki kecepatan, namun ditunjang dengan positioning yang baik, tendangan keras dan postur tubuh yang ideal, SVD mampu mengemas 21 gol selama satu musim di LSI 2013. Torehan tersebut menyamai rekor Sutiono Lamso, striker yang membawa Persib menjuarai Liga Indonesia pertama tahun 1995. Ketika pelatih Djanur mempertahankan namanya pada LSI 2014, Sergio memilih hengkang ke Liga Iran. Padahal ekspektasi bobotoh begitu tinggi ingin melihat duet runner up top skor LSI 2013, karena musim tersebut Persib juga mendatangkan Djibril Coulibaly
14. Vladimir Vujovic (Montenegro)
Bek paling tinggi yang pernah dimiliki Persib ini berhasil mempersembahkan gelar juara yang kedua bagi Maung Bandung. Pemain yang memiliki keunggulan dalam duel di udara ini selalu tampil baik di setiap laga Persib pada musim 2014.
ZONA AFC
15. Suchao Nuchnum (Thailand)
Pada debutnya bersama Persib di stadion si Jalak Harupat, Suchao berhasil mencetak gol ke gawwang Pelita Jaya. Pemain timnas Thailand ini selalu dipuja bobotoh karena memang berkontribusi positif bagi Persib Bandung. Dalam setiap laganya, dia hampir selalu bermain baik. Walaupun hanya tiga bulan bergabung dengan Persib, namanya telah tersimpan di palung hati para bobotoh. Gol sepektakuler yang sulit dilupakan adalah ketika mencetak gol langsung dari tendangan sudut yang ia eksekusi sendiri ke gawang Persik kediri yang saat itu dijaga Herman Batak.
16. Sinthaweechai Hathairattanakool (Thailand)
Dua musim Persib pernah merasakan jasa kiper timnas Thailand ini. Musim pertamanya pada tahun 2006 saat masih berlabel kiper timnas Thailand U-23. Pada musim pertamanya mentas di Liga Indonesia, Kosin telah menjadi pujaan bobotoh, walaupun prestasi tim yang dibelanya jauh dari harapan. Di tahun tersebut, Kosin sering menepi karena cedera. Dia juga pernah mengenakan ban kapten saat Charis Yulianto dan Antonio Claudio tidak sanggup menahan tekanan dari bobotoh dan internal tim. Kemudian kembali bersama Suchao dengan nama yang berbeda, yaitu Sinthaweechai Hathairattanakool pada LSI 2009/2010 dengan status pemain pinjaman.
Adakah pemain favorit anda?
Penulis, Indra Jaya
ZONA CONMEBOL
1. Claudio Lizzama (Chile)
Sebagai mantan pemain timnas Chile, penampilannya tidak mengecewakan. Pemain yang tidak memiliki rambut ini selalu tampil garang di barisan belakang bersama Dadang Hidayat dan Suwandi HS. Bahkan, tidak sedikit bobotoh yang menganggapnya sebagai salah satu pahlawan tim saat hampir terjerumus ke jurang degradasi di musim 2003.
2. Alenjandro Tobar (Chile)
Kaki kiri adalah kaki andalan pemain latin ini. Permainannya cukup tenang, datang bersama gerbong Lizzama, Tobar memberikan warna yang berbeda di lini tengah Persib. Sang play maker memiliki visi bermain yang sangat baik. Sayang, dia harus hengkang lantaran saat itu beredar kabar anti Chile di internal tim Persib dan bergabung dengan musuh bebuyutan, PSMS Medan. Bahkan saat kembali ke Bandung pada musim 2006, dia mencetak satu asist dan gol ke gawang Kosin, Maung pun terkapar di kandangnya.
3. Julio Lopez (Chile)
J-Lo, sapaan akbrabnya, pergi meninggalkan PSIS saat namanya telah melekat di hati para pendukung tim Mahesa Jenar. J-Lo memilih bergabung dengan tim biru dari Bandung saat menerima ajakan pelatih Juan Paez, yang sama-sama berasal dari Chile. Tetapi, kebersamaannya dengan Pangeran Biru tidak sampai akhir musim. Pemain gempal ini hanya bertahan satu musim dan namanya menghilang dalam skuad Persib dengan berbagai alasan kepergiannya.
4. Lorenzo Cabanas (Paraguay)
Pada awal ia bergabung dengan Persib, tidak sedikit bobotoh yang meragukan kemampuannya, terutama kondisi fisik. Bergabung pada tahun 2007 dari sang rival abadi Persib, Persija. Enzo kemudian menjadi roh permainan Persib dibawah asuhan Arcan Iurie. Duetnya bersama Suwita dan Eka Ramdhani dalam formasi 3-5-2 sempat membawa Persib keluar sebagai juara paruh musim. Pemain yang jarang bicara ini menjadi spesialis tendangan bebas dan pengumpan bola yang ciamik melalui kaki kidal andalannya. Sang inspirator juga memiliki kemampuan diving yang baik dan sering mengelabui wasit.
5. Hilton Moreira (Brazil)
Pemain asal Brazil ini masuk ke dalam skuad Persib melalui gerbong pemain dari tim Deltras yang dibawa Jaya Hartono pada tahun 2008, musim LSI edisi perdana. Sempat diragukan karena pamornya tidak setenar para pemain asing lainnya, Hilton menjelma menjadi pemain kesayangan bobotoh. Aksi pertamanya yang memikat hati bobotoh adalah saat Persib beruji coba dengan Sriwijaya FC dan ia yang membawa Persib memenangkan pertandingan dengan skor 1-0. Bersama Cristian Gonzales, duetnya di tahun 2009 merupakan salah satu duet maut di LSI. Namun cedera parah mengharuskannya pulang ke Brazil untuk menjalankan operasi. Saat pulang kembali ke Indonesia, ia sempat membela Sriwijaya FC, dan kembali berseragam biru-biru khas Persib Bandung.
6. Cristian Gonzáles (Uruguay)
Ketika membela Persib, El Loco masih berwarga negara Uruguay. Kedatangannya dari Persik Kediri mengejutkan semua pihak, bahkan kepindahan El Loco menurut penulis adalah yang paling menyedot perhatian bobotoh. Hal yang wajar, karena saat itu dia berpredikat sebagai top skor Liga dalam tiga musim terakhir. Bahkan, saat berseragam Persib, dia juga meraih tropi sepatu emas bersanding dengan Boaz Salosa yang sama-sama mengemas 28 gol (14 untuk Persik dan 14 untuk Persib). Pemain ini juga merupakan salah satu pemain yang sering mencetak hatrick bagi Persib.
ZONA CAF
7. Christian Bekamenga (Kamerun)
Adalah striker utama timnas U-23 Kamerun kala itu. Penampilannya tidak garang, tapi orang sunda bilang leuleus liat. Walaupun jarang tampil bersama Persib karena terbagi dengan penampilannya di timnas, Beka merupakan top skor tim pada musim 2007. Dia adalah predator yang pernah membobol gawang Persija sebanyak 2 gol pada saat Salim dkk mengalahkan Persija dengan skor 3-0 di musim yang sama. Namun sayang, pemain termahal Persib saat itu tersebut harus pergi saat liga belum berakhir, karena kontraknya habis dan bergabung dengan klub Nantes di Liga Prancis. Bekamenga ogah memperpanjang kontrak beberapa bulan ketika liga berjalan molor tidak sesuai jadwal semula.
8. George Clement Nyeck Nyobe (Kamerun) Harganya saat itu “hanya” sekitar 600 juta rupiah. Harga yang murah bagi seorang pemain asing. Namun jangan ditanya kontribusinya bagi tim. Nyeck adalah benteng tangguh Persib bersama Pato dan Nova Arianto di musim 2007. Tetapi di putaran kedua, Arcan Iurie membuat kesalahan saat melepasnya ke Persela demi mendapatkan Leo Chitescu dari PSM. Dalam peminjaman tersebut, Persela sepakat untuk tidak memainkan Nyeck pada saat timnya berduel dengan Persib di putaran kedua. Tahun 2008, ia kembali berseragam Persib berduet dengan Nova Arianto dan Maman Abdurahman.
9. Ekene Ikenwa (Nigeria)
Dialah sang raja tandang. Pemain asal Nigeria ini lebih “mamprang” ketika bermain di kandang lawan. Dengan postur tubuh yang tinggi, ia juga kerap mencetak gol dengan sundulan kepalanya.
10. Redouane Barkaoui (Maroko)
Datang pada musim 2006, musim yang sulit dilalui oleh Persib karena hampir terdegradasi. Namun penampilannya paling menonjol dibandingkan pemain asing lainnya di tim Persib, hanya saja si tari jaipong ini lebih sering terkena cedera. Dirinya dipertahankan oleh Arcan Iurie di musim 2007 dan harus bergantian bermain dengan Zaenal Arief jika Bekamenga tampil.
11. Makan Konate (Mali)
Usianya masih 23 tahun saat membela Persib Bandung, namun perannya begitu penting di sektor tengah Persib. Determinasinya oke, ditunjang fisik, skill dan visi bermain yang di atas rata-rata pemain lokal menjadikan Konate sebagai pemain asing yang mampu memberikan gelar juara bagi Persib.
ZONA UEFA
12. Miljan Radovic (Montenegro)
Sang Professor bola-bola mati. Begitulah julukan yang pernah diberikan oleh seorang komentator di televisi. Radovic memang memiliki keahlian sebagai penendang bola mati. Bahkan dirinya pernah mencetak hatrick saat melawan Persiwa di musim LSI edisi ketiga walaupun berposisi sebagai pemain tengah. Meski usianya sudah menginjak 35 saat itu, kemampuan fisiknya masih mampu mengimbangi para pemain yang lebih muda darinya.
13. Sergio Van Dijk (Belanda)
SVD bergabung dengan Persib melalui proses yang cukup panjang. Pemain yang kemudian mendapat kesempatan menjadi WNI ini dibanderol dengan harga tinggi untuk level kompetisi LSI. Tidak memiliki kecepatan, namun ditunjang dengan positioning yang baik, tendangan keras dan postur tubuh yang ideal, SVD mampu mengemas 21 gol selama satu musim di LSI 2013. Torehan tersebut menyamai rekor Sutiono Lamso, striker yang membawa Persib menjuarai Liga Indonesia pertama tahun 1995. Ketika pelatih Djanur mempertahankan namanya pada LSI 2014, Sergio memilih hengkang ke Liga Iran. Padahal ekspektasi bobotoh begitu tinggi ingin melihat duet runner up top skor LSI 2013, karena musim tersebut Persib juga mendatangkan Djibril Coulibaly
14. Vladimir Vujovic (Montenegro)
Bek paling tinggi yang pernah dimiliki Persib ini berhasil mempersembahkan gelar juara yang kedua bagi Maung Bandung. Pemain yang memiliki keunggulan dalam duel di udara ini selalu tampil baik di setiap laga Persib pada musim 2014.
ZONA AFC
15. Suchao Nuchnum (Thailand)
Pada debutnya bersama Persib di stadion si Jalak Harupat, Suchao berhasil mencetak gol ke gawwang Pelita Jaya. Pemain timnas Thailand ini selalu dipuja bobotoh karena memang berkontribusi positif bagi Persib Bandung. Dalam setiap laganya, dia hampir selalu bermain baik. Walaupun hanya tiga bulan bergabung dengan Persib, namanya telah tersimpan di palung hati para bobotoh. Gol sepektakuler yang sulit dilupakan adalah ketika mencetak gol langsung dari tendangan sudut yang ia eksekusi sendiri ke gawang Persik kediri yang saat itu dijaga Herman Batak.
16. Sinthaweechai Hathairattanakool (Thailand)
Dua musim Persib pernah merasakan jasa kiper timnas Thailand ini. Musim pertamanya pada tahun 2006 saat masih berlabel kiper timnas Thailand U-23. Pada musim pertamanya mentas di Liga Indonesia, Kosin telah menjadi pujaan bobotoh, walaupun prestasi tim yang dibelanya jauh dari harapan. Di tahun tersebut, Kosin sering menepi karena cedera. Dia juga pernah mengenakan ban kapten saat Charis Yulianto dan Antonio Claudio tidak sanggup menahan tekanan dari bobotoh dan internal tim. Kemudian kembali bersama Suchao dengan nama yang berbeda, yaitu Sinthaweechai Hathairattanakool pada LSI 2009/2010 dengan status pemain pinjaman.
Adakah pemain favorit anda?
Penulis, Indra Jaya
Djanur Bukan Pelatih Top
Bukan pelatih asing, bukan pula pelatih lokal dengan nama besar yang mampu memberikan gelar juara yang kedua bagi Persib Bandung. Dialah Djadjang Nurdjaman, seorang pelatih yang juga merupakan mantan pemain Persib yang tentu telah mengenal kondisi internal Maung Bandung. Djanur menjadi satu-satunya orang yang mampu memberikan gelar pada Persib saat masih menjadi pemain (1986), asisten pelatih (1994-1995), dan pelatih kepala (2014).
Di musim pertamanya menjadi pelatih Persib, Djanur memang tidak memberikan gelar juara. Ia hanya mampu memberikan tropi Celebes Cup. Tetapi, pada akhir musim ISL, Persib mampu bertengger di papan atas klasemen yang menyamai prestasi pelatih Jaya Hartono pada ISL edisi kedua, yakni posisi empat klasemen. Pada saat ditunjuk untuk mengarsiteki Atep dkk, Djanur yang banyak diragukan berbagai pihak ini memasang target yang realistis. Ia dengan percaya diri mengatakan butuh waktu minimal dua musim untuk memberikan gelar juara bagi tim kebanggaan bobotoh, dan ucapannya pun dibuktikan pada musim keduanya bersama tim. Gelar juara ISL 2014 bukanlah prestasi pertama yang diraih Djanur di musim tersebut. Tropi ISL hanyalah puncak prestasi yang ditorehkan pelatih asal Majalengka tersebut setelah beberapa prestasi yang telah diraihnya dalam proses perburuan gelar.
Prestasi pertama yang ditunjukkan Djanur adalah ia mampu menghapuskan julukan Persib sebagai tim yang jago kandang. Dalam satu musim, Persib hanya mengalami dua kekalahan di laga tandang. Sebuah prestasi yang sulit ditunjukkan selama hampir dua dekade oleh para pelatih yang menangani Persib. Prestasi kedua, Djanur mampu menjaga stabilitas permainan apik para putra daerah yang bermain cemerlang di klub sebelumnya. Tantan dan Ferdinand Sinaga merupakan pemain binaan klub asal kota Bandung. Tantan bahkan sempat mengenakan kaos Garuda di dadanya saat membela Sriwijaya FC, sehingga desakan untuk memulangkannya agar berseragam biru begitu besar.
Lalu Ferdinand Sinaga, pemain yang pernah berbaju Persib U-18 dan Persib U-23 ini telah melanglang buana di banyak klub. Djanur beruntung memiliki kedekatan yang sangat baik dengan sang pemain, sehingga bersedia membantunya dalam mewujudkan mimpi meraih gelar juara. Seni melatih seperti apa yang dimiliki Djanur sehingga tidak meredupkan kebintangan si anak hilang? Entahlah, mungkin hanya Djanur yang tahu. Namun, pendekatan personalnya kepada para pemain memang patut diacungi dua jempol. Bukan hanya itu, sang juru racik juga mampu menjaga kondusifitas tim yang banyak dihuni oleh pemain bintang.
Andai saja Djanur tidak bisa membenahi mental bermain tandang pasukannya, dan ia juga gagal menjaga kebintangan pemain barunya di Persib, bukan tidak mungkin Persib meraih kegagalan seperti di musim-musim sebelumnya. Namun itulah Djanur, pelatih yang sederhana, (awalnya) bukan pelatih top, yang mungkin tidak secakap Rahmad Darmawan atau Danurwindo, tetapi memiliki seni melatih yang patut diteladani oleh para pelatih lain di Indonesia. Kini, atas prestasinya tersebut, maka layak baginya menyandang sebagai pelatih top di tanah air. Respect for Mang Djanur, hatur nuhun, Persib aing juara deui...
Penulis, Indra Jaya
Di musim pertamanya menjadi pelatih Persib, Djanur memang tidak memberikan gelar juara. Ia hanya mampu memberikan tropi Celebes Cup. Tetapi, pada akhir musim ISL, Persib mampu bertengger di papan atas klasemen yang menyamai prestasi pelatih Jaya Hartono pada ISL edisi kedua, yakni posisi empat klasemen. Pada saat ditunjuk untuk mengarsiteki Atep dkk, Djanur yang banyak diragukan berbagai pihak ini memasang target yang realistis. Ia dengan percaya diri mengatakan butuh waktu minimal dua musim untuk memberikan gelar juara bagi tim kebanggaan bobotoh, dan ucapannya pun dibuktikan pada musim keduanya bersama tim. Gelar juara ISL 2014 bukanlah prestasi pertama yang diraih Djanur di musim tersebut. Tropi ISL hanyalah puncak prestasi yang ditorehkan pelatih asal Majalengka tersebut setelah beberapa prestasi yang telah diraihnya dalam proses perburuan gelar.
Prestasi pertama yang ditunjukkan Djanur adalah ia mampu menghapuskan julukan Persib sebagai tim yang jago kandang. Dalam satu musim, Persib hanya mengalami dua kekalahan di laga tandang. Sebuah prestasi yang sulit ditunjukkan selama hampir dua dekade oleh para pelatih yang menangani Persib. Prestasi kedua, Djanur mampu menjaga stabilitas permainan apik para putra daerah yang bermain cemerlang di klub sebelumnya. Tantan dan Ferdinand Sinaga merupakan pemain binaan klub asal kota Bandung. Tantan bahkan sempat mengenakan kaos Garuda di dadanya saat membela Sriwijaya FC, sehingga desakan untuk memulangkannya agar berseragam biru begitu besar.
Lalu Ferdinand Sinaga, pemain yang pernah berbaju Persib U-18 dan Persib U-23 ini telah melanglang buana di banyak klub. Djanur beruntung memiliki kedekatan yang sangat baik dengan sang pemain, sehingga bersedia membantunya dalam mewujudkan mimpi meraih gelar juara. Seni melatih seperti apa yang dimiliki Djanur sehingga tidak meredupkan kebintangan si anak hilang? Entahlah, mungkin hanya Djanur yang tahu. Namun, pendekatan personalnya kepada para pemain memang patut diacungi dua jempol. Bukan hanya itu, sang juru racik juga mampu menjaga kondusifitas tim yang banyak dihuni oleh pemain bintang.
Andai saja Djanur tidak bisa membenahi mental bermain tandang pasukannya, dan ia juga gagal menjaga kebintangan pemain barunya di Persib, bukan tidak mungkin Persib meraih kegagalan seperti di musim-musim sebelumnya. Namun itulah Djanur, pelatih yang sederhana, (awalnya) bukan pelatih top, yang mungkin tidak secakap Rahmad Darmawan atau Danurwindo, tetapi memiliki seni melatih yang patut diteladani oleh para pelatih lain di Indonesia. Kini, atas prestasinya tersebut, maka layak baginya menyandang sebagai pelatih top di tanah air. Respect for Mang Djanur, hatur nuhun, Persib aing juara deui...
Penulis, Indra Jaya
Kamis, 12 Maret 2015
Invasion To Palembang (Persib Juara ISL 2014)
Selasa malam, Persib berhasil mengalahkan Arema pada pertandingan semi final ISL 2014. Bertanding di stadion Jakabaring, Persib yang sempat tertinggal 1-0 lebih dulu, berhasil membalikkan keadaan dan menang dengan skor 3-1 dalam pertandingan selama 120 menit. Saya, yang menyaksikan melalui layar televisi tak berpikir lagi untuk memutuskan berangkat menonton langsung pertandingan final yang konon digelar lagi di stadion yang sama. Jujur, ini yang pertama kalinya saya menyaksikan laga away langsung di stadion.
Esok harinya, saya dibantu teman yang sering menonton langsung laga away utuk mendaftar di fans shop Viking. Kamis pagi seluruh bobotoh berkumpul di lapangan Gasibu. Puluhan bis datang satu per satu hingga siang tiba. Setelah semua berkumpul, tak menunggu waktu lagi, ribuan bobotoh dilepas oleh gubernur Jabar Pak Ahmad Heryawan. Saya berada di bus 6, dalam perjalanan semuanya baik-baik saja. Para penumpang cukup enjoy menikmati perjalanan dan alunan lagu Doel Sumbang.
Suasana berubah saat rombongan memasuki daerah ibu kota, beberapa orang yang kami duga The Jakmania menunggu di pinggiran jalan tol lalu kemudian melempari bis yang kami tumpangi. Sempat mencekam juga sih, beruntung batu yang mereka lempar hanya mengenai bagian belakang bis. Setelah mendapatkan teror, seluruh penumpang mulai waspada. “Awas batu awas..” “Tahan pake kantong tahan...” suasana di dalam bis kembai gaduh saat kami mendapatkan serangan lagi. Haduh, lumayan juga nih bikin adrenalin naik turun. Jumlahnya tidak terlalu banyak, cuma memang mengganggu perjalanan.
Hingga akhirnya semua bis berkumpul di pinggir jalan, hampir semua bis mengalami kaca pecah, termasuk bis 6 yang saya tumpangi. Namun kondisinya tak separah bis-bis yang lain. Setelah semua bis berkumpul, polisi yang mirip polisi India datang terlambat dan mengawal hingga kondisi aman. Kami tiba di Merak sekitar pukul 7 malam, dan sampai ke kota Palembang keesokan harinya sekitar pukul 3 sore. Dalam perjalanan dari Lampung ke Palembang relatif cukup aman, namun hampir di semua bis telah menyiapkan batu karena masih ada ketakutan mendapatkan lagi serangan. Namun batu-batu itu semua tak berarti, yang ada malah harus kami buang karena mendapat kabar adanya razia dari kepolisian setempat. Setelah masuk ke dalam SOR Gelora Sriwijaya, saya merasa ada di kampung halaman sendiri. Bagaimana tidak, bahasa orang-orang yang berada di sana adalah bahasa Sunda. Edan, Persib beruntung memiliki bobotoh yang fanatik, aya dimana-mana lur. Setelah mendapatkan tiket timur dengan harga yang jarang ditemui di Bandung, yaitu sebesar 20.000, saya dan teman-teman kampus langsung mengantri di pintu timur yang antriannya sudah sekitar 100 meteran. Yel-yel dari puluhan ribu bobotoh yang sudah berada di dalam membuat saya tidak sabar untuk segera bergabung. Beruntung, posisi duduk di tribun berada tepat sejajar dengan garis tengah lapangan.
Tak perlu saya ceritakan jalannya pertandingan, karena saya yakin jutaan bobotoh sa alam dunya sudah tahu bagaimana serunya laga final tersebut. Peristiwa yang saya kira perlu dicatat adalah ketika Persib berhasil unggul 2-1 untuk sementara. Teriakan “JUARA! JUARA!” begitu menggema di dalam stadion. Saya sendiri, tidak mengucapkan kata “juara”, karena masih diliputi ketegangan. Hayu ngadua lur, masih keneh panjang waktu, urang can juara. Kalimat yang saya ucapkan dalam hati. Situasi di lapangan menambah ketegangan saat melihat aksi Pahabol yang mengacak-acak pertahanan Persib. Betul saja, dimulai dari aksinya dari sayap kanan, Persipura mampu menyamakan kedudukan, 2-2. Dipimpin oleh Yana Umar dan Jayalah Persibku, bobotoh tanpa henti memberikan dukungan pada para pemain. Saya salut, mang Yana tanpa henti-hentinya mengarahkan bobotoh untuk tidak menyanyikan lagu rasis. Dalam suatu moment, bobotoh harus kecewa terhadap aksi Vujovic yang melakukan tindakan yang merugikan tim, hingga harus di kartu merah. Bobotoh juga sempat kecewa terhadap coach Djanur yang tidak mengganti Mas Har yang sudah terpincang-pincang. Beruntung, gawang Persib tidak kebobolan sampai laga 120 menit usai.
Saat drama adu penalti, saya tak menyaksikan 8 tendangan yang dieksekusi para pemain Persib dan Persipura. Hanya, setelah bobotoh bersorak ketika I Made berhasil memblok tendangan Nelson Alom, saya beranjak dan mengabadikan tendangan yang dilakukan oleh Jupe. Saat gol terjadi, teriakan, tangis haru para bobotoh pecah. Persib juara! Persib juara! Akhirnya, saya menjadi saksi saat Maung Bandung berhasil menjadi juara lagi setelah 19 tahun tanpa gelar. Malam itu merupakan malam yang tidak akan terlupakan, bahkan ketika menyaksiskan kembali pertandingan final, rasa haru masih berbekas.
Ketika Persib juara, apakah sepenuhnya tenang? Belum, kawan. Saat pulang, rival ibu kota pasti telah bersiap menghadang kami. Berbagai kabar berita mengekspos kerusakan bis bobotoh oleh kelompok suporter lain. Kabar-kabar di media sosial juga tak mau kalah memberitakan hal-hal yang anarkis dan mencekam, walaupun saya kira banyak yang dilebih-lebihkan. Setelah menyebrang lautan dan tiba di pelabuhan Merak, konvoi bus bobotoh terpecah.
Bus yang pulang lebih dulu mendapat serangan di wilayah ibu kota. Sementara, bus yang saya tumpangi mendapat briefing terlebih dahulu dari pihak kepolisian, yang juga seorang bobotoh. Jujur, saat itu tiada kata lain selain perang, karena polisi pun tidak akan dapat banyak membantu dengan jumlah yang sangat sedikit. Beruntung, polisi yang mengawal dapat berkoordinasi dengan baik dengan polisi yang berada di ibu kota. Kami melihat sekelompok orang yang berlarian di setiap jalan raya karena kena sweeping polisi. Kami hanya tertawa di atas bis melihat kelakuan orang-orang yang mungkin kelompok suporter. Padahal sudah pukul satu malam. Ah, entahlah apa yang dipikiran mereka. Fanatisme berlebihan yang tidak disertai kedewasaan memang terkadang menyimpang. Semoga, pertikaian ini cepat berakhir. Pukul 5 pagi, kami tiba di Gasibu dengan kondisi kaca pecah. Sambutan dari rekan-r
Esok harinya, saya dibantu teman yang sering menonton langsung laga away utuk mendaftar di fans shop Viking. Kamis pagi seluruh bobotoh berkumpul di lapangan Gasibu. Puluhan bis datang satu per satu hingga siang tiba. Setelah semua berkumpul, tak menunggu waktu lagi, ribuan bobotoh dilepas oleh gubernur Jabar Pak Ahmad Heryawan. Saya berada di bus 6, dalam perjalanan semuanya baik-baik saja. Para penumpang cukup enjoy menikmati perjalanan dan alunan lagu Doel Sumbang.
Suasana berubah saat rombongan memasuki daerah ibu kota, beberapa orang yang kami duga The Jakmania menunggu di pinggiran jalan tol lalu kemudian melempari bis yang kami tumpangi. Sempat mencekam juga sih, beruntung batu yang mereka lempar hanya mengenai bagian belakang bis. Setelah mendapatkan teror, seluruh penumpang mulai waspada. “Awas batu awas..” “Tahan pake kantong tahan...” suasana di dalam bis kembai gaduh saat kami mendapatkan serangan lagi. Haduh, lumayan juga nih bikin adrenalin naik turun. Jumlahnya tidak terlalu banyak, cuma memang mengganggu perjalanan.
Hingga akhirnya semua bis berkumpul di pinggir jalan, hampir semua bis mengalami kaca pecah, termasuk bis 6 yang saya tumpangi. Namun kondisinya tak separah bis-bis yang lain. Setelah semua bis berkumpul, polisi yang mirip polisi India datang terlambat dan mengawal hingga kondisi aman. Kami tiba di Merak sekitar pukul 7 malam, dan sampai ke kota Palembang keesokan harinya sekitar pukul 3 sore. Dalam perjalanan dari Lampung ke Palembang relatif cukup aman, namun hampir di semua bis telah menyiapkan batu karena masih ada ketakutan mendapatkan lagi serangan. Namun batu-batu itu semua tak berarti, yang ada malah harus kami buang karena mendapat kabar adanya razia dari kepolisian setempat. Setelah masuk ke dalam SOR Gelora Sriwijaya, saya merasa ada di kampung halaman sendiri. Bagaimana tidak, bahasa orang-orang yang berada di sana adalah bahasa Sunda. Edan, Persib beruntung memiliki bobotoh yang fanatik, aya dimana-mana lur. Setelah mendapatkan tiket timur dengan harga yang jarang ditemui di Bandung, yaitu sebesar 20.000, saya dan teman-teman kampus langsung mengantri di pintu timur yang antriannya sudah sekitar 100 meteran. Yel-yel dari puluhan ribu bobotoh yang sudah berada di dalam membuat saya tidak sabar untuk segera bergabung. Beruntung, posisi duduk di tribun berada tepat sejajar dengan garis tengah lapangan.
Tak perlu saya ceritakan jalannya pertandingan, karena saya yakin jutaan bobotoh sa alam dunya sudah tahu bagaimana serunya laga final tersebut. Peristiwa yang saya kira perlu dicatat adalah ketika Persib berhasil unggul 2-1 untuk sementara. Teriakan “JUARA! JUARA!” begitu menggema di dalam stadion. Saya sendiri, tidak mengucapkan kata “juara”, karena masih diliputi ketegangan. Hayu ngadua lur, masih keneh panjang waktu, urang can juara. Kalimat yang saya ucapkan dalam hati. Situasi di lapangan menambah ketegangan saat melihat aksi Pahabol yang mengacak-acak pertahanan Persib. Betul saja, dimulai dari aksinya dari sayap kanan, Persipura mampu menyamakan kedudukan, 2-2. Dipimpin oleh Yana Umar dan Jayalah Persibku, bobotoh tanpa henti memberikan dukungan pada para pemain. Saya salut, mang Yana tanpa henti-hentinya mengarahkan bobotoh untuk tidak menyanyikan lagu rasis. Dalam suatu moment, bobotoh harus kecewa terhadap aksi Vujovic yang melakukan tindakan yang merugikan tim, hingga harus di kartu merah. Bobotoh juga sempat kecewa terhadap coach Djanur yang tidak mengganti Mas Har yang sudah terpincang-pincang. Beruntung, gawang Persib tidak kebobolan sampai laga 120 menit usai.
Saat drama adu penalti, saya tak menyaksikan 8 tendangan yang dieksekusi para pemain Persib dan Persipura. Hanya, setelah bobotoh bersorak ketika I Made berhasil memblok tendangan Nelson Alom, saya beranjak dan mengabadikan tendangan yang dilakukan oleh Jupe. Saat gol terjadi, teriakan, tangis haru para bobotoh pecah. Persib juara! Persib juara! Akhirnya, saya menjadi saksi saat Maung Bandung berhasil menjadi juara lagi setelah 19 tahun tanpa gelar. Malam itu merupakan malam yang tidak akan terlupakan, bahkan ketika menyaksiskan kembali pertandingan final, rasa haru masih berbekas.
Ketika Persib juara, apakah sepenuhnya tenang? Belum, kawan. Saat pulang, rival ibu kota pasti telah bersiap menghadang kami. Berbagai kabar berita mengekspos kerusakan bis bobotoh oleh kelompok suporter lain. Kabar-kabar di media sosial juga tak mau kalah memberitakan hal-hal yang anarkis dan mencekam, walaupun saya kira banyak yang dilebih-lebihkan. Setelah menyebrang lautan dan tiba di pelabuhan Merak, konvoi bus bobotoh terpecah.
Bus yang pulang lebih dulu mendapat serangan di wilayah ibu kota. Sementara, bus yang saya tumpangi mendapat briefing terlebih dahulu dari pihak kepolisian, yang juga seorang bobotoh. Jujur, saat itu tiada kata lain selain perang, karena polisi pun tidak akan dapat banyak membantu dengan jumlah yang sangat sedikit. Beruntung, polisi yang mengawal dapat berkoordinasi dengan baik dengan polisi yang berada di ibu kota. Kami melihat sekelompok orang yang berlarian di setiap jalan raya karena kena sweeping polisi. Kami hanya tertawa di atas bis melihat kelakuan orang-orang yang mungkin kelompok suporter. Padahal sudah pukul satu malam. Ah, entahlah apa yang dipikiran mereka. Fanatisme berlebihan yang tidak disertai kedewasaan memang terkadang menyimpang. Semoga, pertikaian ini cepat berakhir. Pukul 5 pagi, kami tiba di Gasibu dengan kondisi kaca pecah. Sambutan dari rekan-r
Dado si Putra Daerah
Dedi Kusnandar, kini namanya telah bersinar di persepakbolaan tanah air. Pemain asal Jatinangor, Sumedang, ini sukses meniti karir sepak bolanya dari usia muda. Penulis, pernah bergabung dalam satu tim bersama Dado-sapaan akrab Dedi- di tim Persib Haornas 2005. Sebelum mengenal dia, saya terlebih dulu mengenal namanya melalui media cetak. Pada medio awal tahun 2000-an, kompetisi kelompok umur di Kota Bandung sangat padat. Selain rutin diadakannya kompetisi intern Persib, ada beberapa turnamen seperti Danone, Piala Wiranto, dll.
Namanya selalu muncul dalam koran bersama timnya saat itu, SSB UNI. Bahkan, pada edisi perdana Piala Danone di Indonesia, Dado hampir terbang ke Perancis saat UNI berhasil masuk babak final di tingkat nasional. Tahun 2005, ketika saya bergabung dengan Persib U-15 sebagai pemain baru karena sebelumnya di Persikab U-15, saya sudah merasakan hal berbeda jika melihat Dado dibandingkan kawan-kawan lainnya di Persib U-15. Dia begitu disegani oleh para pemain lain, sikap hormat yang ditunjukkan para pemain lain kepadanya membuat saya latah mengikuti sikap para pemain lain, segan dan hormat. Ternyata dialah kapten tim. Benar-benar pemimpin, baik di lapangan maupun di luar lapangan. Semua komandonya dapat dituruti oleh pemain lain. Sifatnya yang kalem dan disiplin akhirnya membawa tim asuhan Sutiono Lamso dapat menjuarai kompetisi Haornas yang telah puluhan tahun tropinya dinantikan singgah di kota kembang.
Dedi Menangis Paling Keras
Ada kejadian unik yang dialami Dado saat memperkuat Persib 15, hal itu terjadi saat tim Jabar (diwakili Persib) bertanding melawan tim Bali. Pada penyisihan grup, tim Persib yang di tingkat Jabar tak pernah kekalahan, harus merasakan kekalahan pertama di penyisihan grup Piala Haornas Nasional. Usai laga yang berkesudahan 0-1 tersebut, para pemain menangis dengan sangat lantang, termasuk Dedi. Bukan hanya sang kapten Dedi, aksi nangis berjamaah pemain lainnya pun menghiasi headline media massa saat itu. Bahkan hal itu sampai membuat pentolan Viking, Yana Umar, masuk ke ruang ganti pemain untuk membangkitkan semangat maung ngora. Namun kekalahan tersebut akhirnya terbalaskan saat tim Jabar bertemu lagi dengan Bali di babak empat Besar hingga akhirnya pemain bernomor punggung sepuluh tersebut mengangkat tropi Piala Haornas.
Memasuki tahun 2006, saat mayoritas pemain Persib 15 bubar karena usianya tak memenuhi syarat lagi untuk berkompetisi di level Haornas, Dado malah langsung bergabung dengan tim Persib 18 yang mayoritas pemainnya dua tahun lebih tua dari usianya. Di tahun tersebut, Dado kembali membawa Persib 18 meraih sukses di Kalimantan. Gol tunggal Munadi membawa Maung Ngora berjaya. Tahun 2007, Dado masih tergabung di tim Persib 18. Di saat yang bersamaan, Persib mulai membetuk Diklat yang saat itu ditangani oleh Indra Thohir. Dado pun masuk ke dalam skuad asuhan pelatih yang pernah menjadi pelatih terbaik Asia tersebut. Namun, pada saat PSSI menggelar Liga Super edisi pertama, Dado malah memilih hengkang ke Pelita Jaya yang saat itu ditangani oleh Djadjang Nurdjaman. Kepindahan Dado karena kedekatannya juga dengan sang pelatih. Walaupun sempat beredar kabar kalau di Persib terus dia harus bekerja keras merebut posisi inti karena satu posisi dengan Munadi. Tetapi keputusannya meninggalkan kostum biru adalah pilihan tepat. Pada kompetisi LSI U-21 edisi pertama, Dedi Kusnandar berhasil membawa tim Pelita Jaya U-21 meraih tropi. Bahkan dia yang pertama mengangkat tropi karena berperan sebagai kapten tim, padahal usianya masih 17 tahun dan masih banyak pemain yang lebih senior dari dirinya, seperti Ferdinand Sinaga. Dan kalau tidak salah, dia juga dinobatkan sebagai pemain terbaik.
Tahun berikutnya, dia berhasil memberikan prestasi pada sekolahnya di ajang Piala Coaca-Cola dan membawanya sebagai pemain terbaik di ajang tersebut. Imbalannya, dia pergi ke Afrika Selatan untuk menyaksikan Piala Dunia 2010. Setelah berprestasi di Pelita Jaya U-21, tak lama kemudian dia dipanggil ke tim senior yang saat itu dilatih oleh pelatih kawakan, Rahmad Darmawan. Di tahun itu pula, akhirnya penulis bisa menyaksikan dia di layar kaca. Dia dan RD seakan satu paket, pada saat RD melatih Arema, Dedi ikut diboyongnya. Begitupun pada saat RD menukangi Persebaya, anak muda asal Sumedang itu bahkan menjadi pemain penting di tim besar macam Persebaya. Dalam suatu kesempatan, penulis pernah berbincang dengan kakak kandung Dedi, karena kebetulan kakaknya senior penulis di kampus. Saya pernah bertanya kapan Dado kembali ke Bandung mengenakan seragam biru? Sang kakak menjawab bijak kalau dia butuh jam terbang dulu. Namun dalam perbincangan itu pun saya berkeyakinan kalau suatu saat dia akan punya kesempatan membela timnas U-23. Tahun 2014, hal itu tercapai, bahkan menjadi kapten tim. Kebanggaan melihat karirnya naik pasti ada di benak orang-orang terdekatnya, termasuk bagi penulis yang mungkin sudah tak dikenal lagi oleh sang pemain favoritnya. Hehehe...
Pada tahun 2014, saat Djanur memanggil para putra daerah, seperti Ferdinand Sinaga dan Tantan, itu merupakan kabar baik untuk para bobotoh. Namun, Dado yang saat itu juga dipanggil Djanur untuk pulang kandang, masih belum bersedia dan memilih mengikuti RD di Persebaya. Tahun berikutnya, akhirnya pemain yang akrab dengan gelar juara saat di Persib junior tersebut berlabuh di kota yang mengenalkannya pada sepak bola. Bahkan, keberaniannya untuk pulang membela tim impian dia sejak kecil menimbulkan pertanyaan dari salah satu media massa di Jabar yang terdapat rubrik tentang Persib. Koran tersebut memprediksi tentang masa depan Dado di Persib, apakah akan sama dengan para pemain muda lainnya yang sulit berkembang atau dapat memecahkan mitos tersebut. Pertanyaan yang wajar dilontarkan, karena memang para pemain muda di Persib selalu sulit mendapatkan jam terbang bermain. Apalagi Persib selalu dihuni para pemain senior yang sudah memiliki banyak pengalaman. Hingga saat saya menulis tulisan ini, tepatnya setelah Persib berhasil menahan imbang Ayeyawadi di Piala AFC 2015, penulis berani mengatakan bahwa Dado berhasil memecahkan mitos jika pemain muda sulit menembus posisi inti di tim sebesar Persib. Tentu kepercayaan yang diberikan pelatih merupakan jawaban dari kualitas yang dimiliki oleh seorang Dado.
Tidak cukup hanya sebagai pemecah mitos kesulitan pemain muda yang berkembang di tim Persib. Semoga, Dado dapat terus menunjukkan kematangannya dalam bermain. Dan juga gelar-gelar juara yang pernah diraihnya sejak junior bersama Persib dapat diulanginya bersama tim senior. Akhirnya, bukan hanya dia dan keluarganya yang bangga, tetapi bobotoh, manajemen, dan juga seluruh elemen pencinta Persib akan bersiap menyambut legenda baru yang akan dapat memberikan prestasi bagi sang Maung Bandung. Legenda yang lahir dan mengalir dalam darahnya nafas urang pasundan, Dado si putra daerah.
Mohon maaf jika terdapat kesalahan, karena tanpa referensi sama sekali.
Penulis, Indra Jaya
Namanya selalu muncul dalam koran bersama timnya saat itu, SSB UNI. Bahkan, pada edisi perdana Piala Danone di Indonesia, Dado hampir terbang ke Perancis saat UNI berhasil masuk babak final di tingkat nasional. Tahun 2005, ketika saya bergabung dengan Persib U-15 sebagai pemain baru karena sebelumnya di Persikab U-15, saya sudah merasakan hal berbeda jika melihat Dado dibandingkan kawan-kawan lainnya di Persib U-15. Dia begitu disegani oleh para pemain lain, sikap hormat yang ditunjukkan para pemain lain kepadanya membuat saya latah mengikuti sikap para pemain lain, segan dan hormat. Ternyata dialah kapten tim. Benar-benar pemimpin, baik di lapangan maupun di luar lapangan. Semua komandonya dapat dituruti oleh pemain lain. Sifatnya yang kalem dan disiplin akhirnya membawa tim asuhan Sutiono Lamso dapat menjuarai kompetisi Haornas yang telah puluhan tahun tropinya dinantikan singgah di kota kembang.
Dedi Menangis Paling Keras
Ada kejadian unik yang dialami Dado saat memperkuat Persib 15, hal itu terjadi saat tim Jabar (diwakili Persib) bertanding melawan tim Bali. Pada penyisihan grup, tim Persib yang di tingkat Jabar tak pernah kekalahan, harus merasakan kekalahan pertama di penyisihan grup Piala Haornas Nasional. Usai laga yang berkesudahan 0-1 tersebut, para pemain menangis dengan sangat lantang, termasuk Dedi. Bukan hanya sang kapten Dedi, aksi nangis berjamaah pemain lainnya pun menghiasi headline media massa saat itu. Bahkan hal itu sampai membuat pentolan Viking, Yana Umar, masuk ke ruang ganti pemain untuk membangkitkan semangat maung ngora. Namun kekalahan tersebut akhirnya terbalaskan saat tim Jabar bertemu lagi dengan Bali di babak empat Besar hingga akhirnya pemain bernomor punggung sepuluh tersebut mengangkat tropi Piala Haornas.
Memasuki tahun 2006, saat mayoritas pemain Persib 15 bubar karena usianya tak memenuhi syarat lagi untuk berkompetisi di level Haornas, Dado malah langsung bergabung dengan tim Persib 18 yang mayoritas pemainnya dua tahun lebih tua dari usianya. Di tahun tersebut, Dado kembali membawa Persib 18 meraih sukses di Kalimantan. Gol tunggal Munadi membawa Maung Ngora berjaya. Tahun 2007, Dado masih tergabung di tim Persib 18. Di saat yang bersamaan, Persib mulai membetuk Diklat yang saat itu ditangani oleh Indra Thohir. Dado pun masuk ke dalam skuad asuhan pelatih yang pernah menjadi pelatih terbaik Asia tersebut. Namun, pada saat PSSI menggelar Liga Super edisi pertama, Dado malah memilih hengkang ke Pelita Jaya yang saat itu ditangani oleh Djadjang Nurdjaman. Kepindahan Dado karena kedekatannya juga dengan sang pelatih. Walaupun sempat beredar kabar kalau di Persib terus dia harus bekerja keras merebut posisi inti karena satu posisi dengan Munadi. Tetapi keputusannya meninggalkan kostum biru adalah pilihan tepat. Pada kompetisi LSI U-21 edisi pertama, Dedi Kusnandar berhasil membawa tim Pelita Jaya U-21 meraih tropi. Bahkan dia yang pertama mengangkat tropi karena berperan sebagai kapten tim, padahal usianya masih 17 tahun dan masih banyak pemain yang lebih senior dari dirinya, seperti Ferdinand Sinaga. Dan kalau tidak salah, dia juga dinobatkan sebagai pemain terbaik.
Tahun berikutnya, dia berhasil memberikan prestasi pada sekolahnya di ajang Piala Coaca-Cola dan membawanya sebagai pemain terbaik di ajang tersebut. Imbalannya, dia pergi ke Afrika Selatan untuk menyaksikan Piala Dunia 2010. Setelah berprestasi di Pelita Jaya U-21, tak lama kemudian dia dipanggil ke tim senior yang saat itu dilatih oleh pelatih kawakan, Rahmad Darmawan. Di tahun itu pula, akhirnya penulis bisa menyaksikan dia di layar kaca. Dia dan RD seakan satu paket, pada saat RD melatih Arema, Dedi ikut diboyongnya. Begitupun pada saat RD menukangi Persebaya, anak muda asal Sumedang itu bahkan menjadi pemain penting di tim besar macam Persebaya. Dalam suatu kesempatan, penulis pernah berbincang dengan kakak kandung Dedi, karena kebetulan kakaknya senior penulis di kampus. Saya pernah bertanya kapan Dado kembali ke Bandung mengenakan seragam biru? Sang kakak menjawab bijak kalau dia butuh jam terbang dulu. Namun dalam perbincangan itu pun saya berkeyakinan kalau suatu saat dia akan punya kesempatan membela timnas U-23. Tahun 2014, hal itu tercapai, bahkan menjadi kapten tim. Kebanggaan melihat karirnya naik pasti ada di benak orang-orang terdekatnya, termasuk bagi penulis yang mungkin sudah tak dikenal lagi oleh sang pemain favoritnya. Hehehe...
Pada tahun 2014, saat Djanur memanggil para putra daerah, seperti Ferdinand Sinaga dan Tantan, itu merupakan kabar baik untuk para bobotoh. Namun, Dado yang saat itu juga dipanggil Djanur untuk pulang kandang, masih belum bersedia dan memilih mengikuti RD di Persebaya. Tahun berikutnya, akhirnya pemain yang akrab dengan gelar juara saat di Persib junior tersebut berlabuh di kota yang mengenalkannya pada sepak bola. Bahkan, keberaniannya untuk pulang membela tim impian dia sejak kecil menimbulkan pertanyaan dari salah satu media massa di Jabar yang terdapat rubrik tentang Persib. Koran tersebut memprediksi tentang masa depan Dado di Persib, apakah akan sama dengan para pemain muda lainnya yang sulit berkembang atau dapat memecahkan mitos tersebut. Pertanyaan yang wajar dilontarkan, karena memang para pemain muda di Persib selalu sulit mendapatkan jam terbang bermain. Apalagi Persib selalu dihuni para pemain senior yang sudah memiliki banyak pengalaman. Hingga saat saya menulis tulisan ini, tepatnya setelah Persib berhasil menahan imbang Ayeyawadi di Piala AFC 2015, penulis berani mengatakan bahwa Dado berhasil memecahkan mitos jika pemain muda sulit menembus posisi inti di tim sebesar Persib. Tentu kepercayaan yang diberikan pelatih merupakan jawaban dari kualitas yang dimiliki oleh seorang Dado.
Tidak cukup hanya sebagai pemecah mitos kesulitan pemain muda yang berkembang di tim Persib. Semoga, Dado dapat terus menunjukkan kematangannya dalam bermain. Dan juga gelar-gelar juara yang pernah diraihnya sejak junior bersama Persib dapat diulanginya bersama tim senior. Akhirnya, bukan hanya dia dan keluarganya yang bangga, tetapi bobotoh, manajemen, dan juga seluruh elemen pencinta Persib akan bersiap menyambut legenda baru yang akan dapat memberikan prestasi bagi sang Maung Bandung. Legenda yang lahir dan mengalir dalam darahnya nafas urang pasundan, Dado si putra daerah.
Mohon maaf jika terdapat kesalahan, karena tanpa referensi sama sekali.
Penulis, Indra Jaya
Langganan:
Postingan (Atom)