Persib merupakan salah satu tim besar yang beredar di kompetisi Liga Indonesia. Pamor sebagai tim besar, didapat Persib karena memiliki banyak prestasi dalam kancah persepakbolaan nasional. Selain itu, kehadiran bobotoh sebagai pendukung menjadikan tim ini semakin terlihat besar. Terbukti, saat Persib menjuarai ISL 2014, Bandung berubah menjadi lautan biru, euforia bobotoh bahkan menjadi perhatian bagi mantan orang nomor satu di Indonesia, SBY. Tidak cukup sampai disitu, keberhasilan Persib kembali menjadi juara juga mendapatkan perhatian dari sang presiden FIFA, yang memberikan selamat melalui surat yang dikirim ke PSSI.
Persib memang telah mendunia, kepopulerannya telah mengalahkan tim besar seperti Barcelona, Real Madrid, dan AC Milan, karena menjadi tim paling populer yang paling banyak dicari di dumay. Faktor bobotoh pula, yang membuat kostum Persib diramaikan oleh belasan sponsor yang mau mendanai kebutuhan Pangeran Biru.
Bukan hanya Persib, bobotoh pun telah banyak mengukir rekor menakjubkan di persepakbolaan nasional. Tahun 1985 saat final perserikatan yang mempertemukan Persib dan PSMS, rekor penonton terbanyak terjadi ketika 150.000 pasang mata menyaksikan langsung pertandingan dua musuh bebuyutan tersebut. Jumlah penonton yang mayoritas bobotoh itu melebihi kapasitas tempat duduk penonton GBK yang saat itu hanya dapat menampung 80.000 penonton saja. Bobotoh memang bukan organisasi kelompok suporter yang memiliki ketua, sekjen, dsb.
Bobotoh hanya sebutan bagi suporter Persib. Namun bila berbicara tentang kelompok suporter di Indonesia, pelopor dan juga merupakan kelompok suporter pertama lahir dari kalangan bobotoh. Pada tahun 1993, beberapa bobotoh yang sering menempati tribun selatan stadion Siliwangi, berinisiatif mewadahi para bobotoh dengan membentuk Viking. Kelompok suporter yang diketuai Heru Joko ini dapat memberikan stimulus pada suporter tim lain, sehingga banyak yang mencontoh Viking dalam berorganisasi, termasuk The Jakmania, melalui Gugun Gondrong yang dulu merupakan sahabat Ayi Beutik, panglima Viking.
Tiada gading yang tak retak, istilah itu memang berlaku pada segala kehidupan manusia, tak terkecuali bagi bobotoh. Pada awal tahun 2000-an, saat Persib sempat mengalami penurunan prestasi, kondisi bobotoh pun pernah sampai di titik nadir. Nama baik bobotoh menjadi rusak akibat segelintir oknum yang berlaku kekanak-kanakan. Pada saat Persib hampir terdegradasi di tahun 2002/ 2003, sebagian bobotoh mulai frustasi.
Ketika Persib bermain buruk dan mengalami kekalahan di kandang, toko-toko di pinggir jalan akan segera tutup. Loh, apa hubungannya? Ketika kekalahan demi kekalahan dialami sang maung di kandang, oknum bobotoh akan beraksi menghancurkan kaca-kaca toko di pinggir jalan. Aksi anarkis sebagian oknum ini membabi buta, tidak sedikit pula pot-pot bunga pengindah kota yang dihancurkan oknum ini. Nama bobotoh menjadi rusak. Akibat aksi itu, banyak inohong-inohong Bandung yang menyayangkan. Bahkan, dalam album kompilasi Viking Persib jilid-2, banyak lagu yang bernada ngageuing bagi bobotoh untuk bersikap dewasa, seperti lagu Doel Sumbang dan band Sendal Jepit dengan judul “Jangan Rusak Kotaku”.
Di medio awal 2000-an, sebetulnya bukan hanya Persib dan bobotoh yang namanya menjadi rusak, persepakbolaan nasional juga sempat berada di titik nadir. Pada beberapa musim, Liga Indonesia menjadi ajang bentrokan suporter, aksi tinju para pemain, juga aksi pengeroyokan terhadap wasit. Liga Indonesia saat itu begitu ditakuti khalayak. Tidak ada yang patut dibanggakan dari persepakbolaan nasional saat itu. Kembali pada Persib dan bobotoh. Nama bobotoh yang sempat di cap jelek oleh masyarakat Jawa Barat, perlahan mulai membaik. Kedewasaan bobotoh mulai menghadirkan simpatik bagi warga Bandung, hal itu terlihat ketika para mojang Bandung mulai berani datang ke stadion untuk menyaksikan Persib dalam keadaan aman tanpa rasa takut.
Bobotoh memiliki peran penting dalam perjalanan Persib. Tak jarang kritikan dan teriakan bobotoh menjadi penentu langkah Persib dalam menentukan skuad tim Maung Bandung. Liga Indonesia XII menjadi bukti. Bobotoh mampu melengserkan Risnandar dari kursi pelatih Persib yang baru saja memimpin dalam dua laga. Kekalahan beruntun dari PSIS dan Persijap membuat bobotoh berdemo dan Risnandar pun memilih mundur karena tak kuat menahan tekanan yang begitu besar. Nama besar Risnandar sebagai legenda Persib seakan hilang saat itu, mengerikan. Di musim itu pula, prestasi Persib jauh dari harapan, dan ketakutan bobotoh anarkis kembali ada. Beruntung, bobotoh sudah benar-benar dewasa saat itu. Walaupun Persib sering mengalami kekalahan, tidak terjadi lagi aksi merusak kota dari bobotoh sepulang menonton laga Persib yang dibalut kekecewaan jika kalah di kandang.
Ada perbedaan karakter bobotoh dari masa ke masa dalam mendukung Persib. Menurut saya, bobotoh di era perserikatan mendukung dengan sangat fair sesuai relita di lapangan. Berbeda dengan bobotoh saat ini yang mendukung dengan fanatisme yang berlebihan, sehingga menimbulkan efek kurang baik juga bagi tim. Begini, Persib di mata bobotoh saat ini, adalah Persib yang seolah tak pernah bermain jelek. Dimata bobotoh, Persib selalu bermain bagus, eleh meunang Persib nu aing. Kalimat tersebut menyiratkan bobotoh sejati, memang. Itu pula yang saya rasakan, selalu muncul alibi dalam benak saya ketika menyaksikan Persib bermain butut dan kalah. Mungkin karena belum kompak, mungkin kelelahan, mungkin juga kurang beruntung, atau alibi-alibi lainnya untuk mengobati kekecewaan dan Persib tetaplah tim super yang tak pernah bermain jelek.
Hal berbeda akan terucap dari mulut para boboko (bobotoh kolot), cacian dan makian akan keluar dari para boboko ketika Persib bermain kurang bagus. Kalimat “Persib butut” seolah tak ragu diucapkan oleh boboko. Bapak saya termasuk salah satunya, sehingga saat menyaksikan Persib di layar kaca, saya memilih tidak menonton bareng dengan bapak. Tidak ada yang salah dari cara bobotoh beda generasi dalam mendukung Persib, karena perbedaan itulah yang menjadikan Persib mampu berprestasi. Tinggal bagaimana semua bobotoh menyikapi cara mendukung tim yang beragam dari setiap individunya.
Mari, tetap dukung Persib make manah anu sehat. Jangan menyematkan bobotoh karbitan pada orang yang kecewa pada Persib. Ajat Sudrajat, legenda Persib, tentu akan sangat berterima kasih pada bobotoh yang telah memakinya, karena dengan itu ia mampu mengeluarkan semua kemampuannya. Lagipula cacian seperti itu bukan berarti sang pencaci membenci Persib untuk selamanya, hanya sebuah rasa sayang yang reaksinya demikian. Akhirnya kita semua harus sadar, bobotoh memiliki keberagaman dalam mendukung tim kesayangannya. Dukungan yang diberikan bobotoh era sekarang mungkin cenderung pembelaan yang didasari rasa cinta yang katanya buta. Tapi kita juga harus menghormati cara mendukung sepuh kita yang memiliki perbedaan. Karena Persib bukan hanya nu aing, mereka-mereka juga merasa jika Persib miliknya. Salam damai....
Indra Jaya
b
BalasHapus