Jumat, 09 Oktober 2015

Persib Juara Lagi Tahun 2033?

                30 Juli 1995 silam, Persib Bandung berhasil menjadi kampiun Liga Indonesia pertama dengan skuat 100% pemain lokal. Pada liga perpaduan kompetisi Perserikatan dan Galatama ini, Robby Darwis saparakanca berhasil mengalahkan Petrokimia Putra dengan skor 1-0 melalui gol Sutiono Lamso. Namun setelah momen bersejarah tersebut, Maung Bandung harus menunggu hampir dua dekade untuk kembali menjadi yang terbaik di pentas sepak bola nasional. Tahun 2014, Persib keluar sebagai juara ISL ketika format kompetisi berubah dibagi menjadi dua wilayah. Selisih yang tepat jika melihat tahun saat Pangeran Biru meraih gelar juara adalah 19 tahun. Dalam dunia sepak bola, terdapat istilah siklus dimana sebuah tim bisa meraih gelar juara.

                Jika melihat selisih angka juara Persib saat ini yang berada di angka 19, tentu semua bobotoh tidak mengharapkan siklus ini dimiliki Persib. Karena jika siklus ini menaungi Persib, artinya Persib akan kembali juara sembilan belas tahun kemudian, yakni di tahun 2033, ketika usia Persib mencapai satu abad. Walaupun meraih gelar juara di usia ke-100 tahun adalah hal yang istimewa, namun penantian selama sembilan belas tahun adalah penantian yang terlalu lama bagi tim sebesar Persib.

                Saat ini, dalam sepak bola Indonesia, pemilik siklus juara terpendek adalah Persipura Jayapura. Terhitung dari kompetisi LSI edisi pertama yang dimulai tahun 2008 dan berakhir di tahun 2009, tim Mutiara Hitam berhasil meraih gelar juara sebanyak tiga kali dalam kurun waktu lima tahun. Siklus juara tim yang identik dengan Boaz Salosa ini hanya terjadi dalam dua tahun sekali. Persipura kembali meraih juara pada LSI edisi ketiga di tahun 2011, karena di musim sebelumnya hanya menempati posisi runner up di bawah Arema yang berhasil merebut Piala dari tanah Papua. Memasuki tahun genap, 2012, Persipura kembali lagi kehilangan mahkota juara setelah tim asal Palembang, Sriwijaya FC sukses menjadi juara. Posisi Persipura kembali berada satu tingkat di bawah sang juara, yakni di posisi runner up. Dua tahun setelah menjadi juara di musim 2011, anak-anak Papua merebut kembali mahkota juara dari bumi Sriwijaya. Tahun 2014, saat Persipura bersua Persib di partai final ISL di Palembang, penulis yakin Persipura akan gagal meraih juara. Karena tahun tersebut bukanlah siklus juara Persipura, melainkan siklus runner up yang secara kebetulan selalu berada di tahun yang genap. Terbukti, melalui drama adu penalti, tim Maung Bandung-lah yang keluar sebagai tim juara dan Persipura pun harus tunduk pada “aturan” siklus yang telah mereka miliki.

                Jika menilik pada catatan di atas, maka keberadaan siklus bukan hanya mitos belaka dalam sepak bola. Persipura telah membuktikan dengan siklus juara setiap dua tahun sekali dan runner up dalam rentan waktu yang sama. Kembali pada Persib, apakah tim kebanggaan Jawa Barat ini akan kembali juara pada tahun 2033? Tentu para bobotoh sa alam dunya tidak mengharapkan hal itu. Tepis jauh-jauh siklus juara Persib setiap sembilan belas tahun sekali yang memang belum terbukti. Persib sebetulnya juga memiliki siklus juara yang pendek, yaitu setiap empat tahun sekali.

                Siklus ini bermula ketika Persib berhasil menjadi juara pada kompetisi Perserikatan tahun 1986, saat masih dipimpin oleh kapten Adeng Hudaya. Empat tahun kemudian, gelar juara kembali diraih Robby Darwis yang juga merupakan gelar keduanya bersama Persib. Tahun 1994, juga empat tahun setelah Persib meraih gelar juara, “maung-maung” dari tanah Pasundan berhasil memboyong dan membumikan lagi piala kompetisi Perserikatan edisi terakhir. Bahkan setahun kemudian Persib mampu meraih juara liga pertama, gelar itu merupakan gelar terakhir kapten tim dan juga legenda Persib, Robby Darwis yang juga memegang rekor sebagai pemain Persib yang meraih gelar juara terbanyak bersama tim Pangeran Biru (4 kali juara).

Jika melihat siklus tersebut, ada harapan dari para bobotoh agar Persib mampu meraih gelar juara lagi dalam tempo waktu yang tidak terlalu lama. Bahkan bisa saja Persib baru akan memulai menentukan siklus juara yang sangat pendek seperti Persipura. Karena masa keemasan Persib telah muncul, saatnya mempertahankan dan memelihara tradisi juara. Sembilan belas tahun Persib “bertahan” tanpa meraih gelar juara liga, maka dalam kurun waktu yang lama pula harusnya Persib dapat bertahan dengan predikat tim juara dengan meraih mahkota dan tropi, bukan tim dengan julukan “juara tanpa mahkota”. Ayo Sib, susul jumlah bintang yang ada di atas logo Persipura. Tim dengan jumlah supporter terbesar di Asia Tenggara dan selalu dihuni para pemain bintang seperti Persib, tentu layak memiliki koleksi gelar setara atau lebih dari yang dimiliki oleh Persipura, yang juga telah menjelma menjadi tim besar dalam sepuluh tahun terakhir setelah menjadi juara tahun 2005. Lakukanlah, Sib…!

Penulis,

Indra Jaya
Bobotoh Persib

Sepak Bola (Itu) Pemersatu Bangsa

Jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka, sepak bola telah dikenal dan dimainkan oleh masyarakat Indonesia. Bahkan, olahraga permainan ini dijadikan media para aktivis putra-putra bangsa untuk berkumpul merencanakan kemerdekaan. Lima belas tahun sebelum Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Ir. Soeratin dkk. telah lebih dulu mendirikan organisasi sepak bola, PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) pada 19 April 1930. Niat tulus membentuk PSSI itu akhirnya berbuah manis, bahkan berkontribusi terhadap kemerdekaan dan  persatuan bangsa. Hingga akhirnya, saat ini sepak bola telah menjadi olahraga paling digemari di Indonesia. Sepak bola telah menyatukan masyarakat Indonesia yang heterogen menjadi satu warna saat skuat timnas Merah-Putih berlaga di atas rumput Gelora Bung Karno.


Tidak hanya itu, sepak bola pun telah memberikan kehidupan untuk para pelaku langsung olahraga tersebut (pemain dan pelatih), hingga para pelaku tidak langsung permainan yang dimainkan oleh 22 pemain ini. Situasi seperti itu tentu salah satu yang diharapkan oleh sang pendiri, disamping menunggu prestasi timnas di pentas internasional.

Namun, semua hal yang membawa kebaikan itu mulai sedikit terkikis. Sepak bola Indonesia memang sempat mengalami kejayaan dan keterpurukan, namun konflik yang terjadi saat ini merupakan yang terburuk sepanjang sejarah. Sebelum Menpora dan PSSI berseteru, sepak bola Indonesia telah dicoreng terlebih dahulu oleh “sepak bola gajah” yang dimainkan oleh PSIS Semarang dan PSS Sleman. Saat itu, PSSI menjadi sorotan bahwa didalamnya terdapat banyak mafia sepak bola yang menjauhkan sepak bola pada nilai-nilai sportivitas. Melihat situasi yang demikian, pemerintah melalui Menpora ikut campur membenahi PSSI.

Tetapi yang terjadi hanyalah konflik yang hingga saat ini belum juga usai. Tepat di hari jadi PSSI yang ke-85, Menpora membekukan PSSI sehingga semua kegiatan sepak bola gagasan PSSI mati. Bahkan FIFA memberikan sanksi pada Indonesia karena dianggap melanggar kode etik FIFA ketika kepengurusan sepak bola dicampuri oleh pemerintah. Ribuan pemain dan pelatih pun kehilangan pekerjaan, para penjual jersey dan pernak-pernik klub menjerit karena berkurangnya pendapatan, para pedagang yang biasanya mengais rezeki di area stadion juga tidak dapat lagi mendapatkan rezeki berlimpah seperti saat digelar suatu pertandingan. Dan seluruh penggemar sepak bola tanah air telah kehilangan hiburan murah yang selama ini mengisi kehidupan mereka.

Tentu hal ini bukanlah sesuatu yang diharapkan oleh Ir. Soeratin, mungkin sang “pahlawan sepak bola” kita tengah bersedih di alam yang lain melihat kondisi sepak bola yang kacau balau. Semoga beliau tidak larut dalam kesedihan yang belum tahu dimana ujungnya. Sepak bola kita telah dihancurkan oleh kita sendiri, Pak, khususnya mereka yang memiliki peran dalam menahkodai kegiatan sepak bola di negeri ini. PSSI dan Menpora telah mengubah sepak bola kita ke arah yang belum tahu akan seperti apa nantinya. Namun, untuk kedua pihak yang berkonflik itu, berhentilah bergesekan, ubahlah sepak bola ke arah yang lebih baik secepat mungkin, sehingga sang Ketua PSSI pertama dapat kembali tersenyum di dunia sana.

Persatuan kelompok suporter akan menjadikan sepak bola semakin indah.
Satu hal lagi yang tidak diharapkan hadir dan malah bertentangan dengan proses terbentuknya PSSI adalah perpecahan antar supporter sepak bola. Bukankah sepak bola telah menyatukan bangsa ini saat Indonesia dalam situasi dijajah bangsa lain? Seharusnya hal itu dapat dipelihara oleh kita semua. Namun apa yang terjadi saat ini, sepak bola telah menjadi pemisah bangsa. Berbagai supporter terlalu berlebihan dalam mendukung kesebelasan  yang disayanginya. Imbasnya, muncul bentrokan dan permusuhan antar supporter yang hingga saat ini sulit untuk didamaikan. Bukankah sepak bola adalah media pemersatu bangsa Indonesia? Lalu mengapa saat ini kita ubah menjadi pemecah bangsa?

Marilah kita usung kembali semangat persatuan bangsa melalui sepak bola, kita padamkan api permusuhan dengan memunculkan tunas-tunas perdamaian dalam mendukung tim kesayangan kita. Memiliki rival atau musuh bebuyutan dalam sepak bola merupakan hal yang wajar, bahkan membanggakan. Namun tetap harus kita sikapi dengan sewajar-wajarnya, yaitu cukup saat kedua tim berlaga di atas lapangan saja. Menikmati pertandingan antar kedua kesebelasan, tanpa adanya terror yang berlebihan dari supporter, tanpa ada tawuran, perang antar suporter, dan tanpa adanya darah dan nyawa yang hilang akibat sikap fanatisme yang berlebihan.

Sepak bola adalah milik kita semua, maka dari itu, kita semua harus menjaga olahraga yang satu ini agar selalu hidup di tanah Ibu Pertiwi. Sepak bola yang terhindar dari konflik, yang bersih dari mafia, yang damai, yang memberikan kehidupan dan manfaat bagi semua orang. Dan yang utama yang sudah lama kita nantikan, sepak bola Indonesia harus kembali berprestasi di pentas internasional. Semoga…

Penulis,
Indra Jaya dan Risky Faradila


Rabu, 09 September 2015

Pembinaan Sepak Bola

Pembinaan Sepak Bola
Sepak bola adalah olahraga paling populer di dunia dan juga di negeri ini. Olahraga invasi yang dimainkan oleh 22 orang di atas lapangan ini telah berkembang, dari yang awalnya hanya olahraga permainan, kini telah menjadi sebuah industri dan juga lahan tempat mencari nafkah untuk para pelakunya. Bahkan, suatu negara  kecil dapat terlihat “besar” jika memiliki prestasi gemilang dalam persepakbolaan internasional. Namun kegemerlepan sepak bola belum mampu membuat Indonesia menjadi negara sepak bola yang memiliki prestasi cemerlang di pentas dunia. Kini, kita telah tertinggal jauh dari negara-negara Asia, banyak faktor yang membuat Indonesia tertinggal. Selain sarana prasarana, pembinaan pemain di Indonesia diakui semua pihak adalah hal yang paling berpengaruh terhadap tangguh atau tidaknya sebuah tim nasional yang kelak menentukan prestasi di kancah internasional.

Penulis yakin pembinaan memang tidak pernah putus di sepak bola kita, terbukti dengan semakin banyaknya SSB, Diklat, Akademi, hingga klub anggota PSSI pun semakin banyak. Sejauh ini, pembinaan sepak bola Indonesia belum dapat dikatakan sepenuhnya benar. Indonesia sudah jauh tertinggal dalam urusan membina pemain, bahkan oleh negara-negara ASEAN yang dulu bukan apa-apanya Indonesia. Jika merujuk pada apa yang disarankan FIFA, ada beberapa hal yang salah kaprah dalam pembinaan sepak bola di Indonesia.

Pembinaan pemain di Indonesia dapat dikatakan liar. PSSI, sebagai induk organisasi sepak bola seperti membiarkan para wadah pembinaan pemain berjalan dengan semaunya. Tanpa ada kontrol dan aturan yang dapat dijadikan standar membentuk, katakanlah SSB, Diklat, dll. Apa yang terjadi?  Tidak sedikit SSB yang melenceng dari tujuan yang seharusnya, bukannya membina tetapi malah berbisnis. Dalam hal ini, penulis ingin lebih mengurucut pada pola pembinaan yang sudah tidak sesuai anjuran FIFA yang telah dilakukan berpuluh-puluh tahun oleh para pelaku pembinaan sepak bola Indonesia. Yaitu, menyelenggarakan event kompetitif yang tujuannya pada perburuan tropi di kelompok umur.

Ketika para pemain yang masih berusia anak-anak hingga remaja diikutsertakan dalam ajang kompetitif, tentu hal tersebut belumlah tepat, karena dari sisi psikologis, anak akan lebih baik jika dibiarkan bersenang-senang daripada harus dibebani untuk meraih kemenangan dalam pertandingan. Pemenang mungkin akan merasakan kegembiraan, tapi bagi yang kalah, tentu hal sebaliknya akan dialami. Hal demikian juga akan berdampak pada mental anak untuk terus memikirkan tropi dan penghargaan lainnya. Imbasnya lebih luas lagi, telah banyak contoh hal yang tidak baik yang terjadi dalam event kompetitif kelompok umur. Diantaranya pencurian umur, perkelahian orang tua pemain saat mendukung anaknya bermain, dan pemberian materi latihan yang melebihi porsi latihan bagi anak, demi mencapai gelar juara.


Pencurian umur sudah menjadi hal yang lumrah dalam pembinaan pemain sepak bola kita. Asalkan dapat bermain rapi, identitas dimanipulasi sedemikian rapi, maka amanlah untuk bermain curang. Hal ini dilakukan oleh pelatih dan adanya peran serta orang tua yang harusnya mengarahkan anak pada kejujuran. Miris, justru ketika anak dalam proses perkembangan, ia dikenalkan pada kecurangan. Dari event kompetitif, tentu akan muncul atmosfer persaingan yang menguras emosi. Apalagi dalam event kelompok umur yang masih didampingi oleh orang tua. Akhir-akhir ini sering terjadi keributan antara orang tua pemain saat mendukung anak kesayangannya bertanding. Pemicunya banyak, selain anaknya yang mengalami keributan langsung di lapangan, juga dukungan yang berlebih agar anaknya meraih kemenangan seolah membutakan bahwa mereka sedang menyaksikan pembinaan.

Lalu, ketika sebuah tim telah menargetkan gelar juara dalam satu event yang kompetitif, tentunya akan ada persiapan latihan yang diarahkan untuk mewujudkan target tersebut. Salah satu SSB besar di Indonesia sempat mengakui kesalahan dalam memberikan materi latihan yang berat pada pemain kelompok umur. Hasilnya memang bagus, memuaskan, namun bersifat sesaat dan tidak memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan anak di kemudian hari. Bukankah pola latihan yang demikian akan berpengaruh kurang baik pada pertumbuhan anak?


Dalam suatu event yang kompetitif, apalagi tim menargetkan sebuah gelar juara, percayalah, tidak sedikit muncul permasalahan internal di tim itu sendiri. Seorang pelatih, sering mengalami kedilemaan untuk melakukan rotasi dengan porsi bermain yang sama. Apalagi jika kuota pemain “gemuk”, lalu penyelenggaran event menerapkan pergantian pemain yang pelit. Tak jarang banyak pemain yang tidak mendapatkan jatah bermain atau hanya bermain dengan menit bermain yang sedikit. Imbasnya anak akan kecewa, bahkan orang tua juga demikian dan terkadang melakukan protes pada pelatih. Banyak yang berpendapat jika hal demikian adalah wajar terjadi di SSB, tetapi bagi penulis, justru seharusnya tidak terjadi yang demikian.

Melalui tulisan ini, penulis ingin memberikan masukan bagi pembinaan yang selama ini berjalan di sepak bola usia dini. Berbagai macam problematika yang penulis ungkap akan dapat dikurangi, mungkin teratasi. Penulis tidak akan memberi masukan khusus pada seorang pelatih usia dini, manajemen SSB atau orang tua pemain. Saran yang akan penulis utarakan ini untuk lembaga PSSI dan para donator yang sering mengadakan turnamen sepak bola usia dini.

Turnamen merupakan kegiatan yang kompetitif yang didalamnya akan muncul juara, hal ini yang memicu problematika yang telah penulis utarakan di atas. Bagaimana jika turnamen usia dini yang selama ini, formatnya diganti dengan festival yang tidak usah menampilkan juara? Seluruh peserta hanya dipertandingkan dengan format ½ kompetisi dalam satu grup. Format ini tentu akan mempertemukan seluruh tim peserta, memang akan ada yang menang, seri dan kalah dalam suatu pertandingan. Namun tidak perlu ada point dan klasemen dalam festival tersebut. Kegiatan seperti ini tetap akan menjadi tolak ukur sejauh mana hasil latihan yang telah dijalani pemain. Para pelatih akan lebih tenang tanpa mendapat tekanan harus menang dari manajemen dan orang tua pemain, karena tidak ada tropi yang diperebutkan. Begitu pun para pemain, tidak terbebani oleh target yang harus memenangkan pertandingan. Secara otomatis, pencurian umur akan hilang, karena tidak ada target lebih untuk mencari gelar juara.

Para pemain hanya menikmati pertandingan dan pelatih cukup mengarahkan pemain pada cara bermain yang baik dan benar. Pelatih pun tidak akan ragu untuk melakukan rotasi, karena kalah dalam skor berapa pun tidak akan tercatat dalam klasemen. Maka hanya ada satu tujuan dalam event semacam ini, membantu mengembangkan potensi anak tanpa tekanan untuk meraih gelar. Para orang tua pun akan tetap terhibur dan yakinlah tidak akan ada nada kecewa karena anaknya minim jam bermain, karena pelatih akan leluasa dalam merotasi pemain.

Tetapi nantinya tidak akan berjalan seru jika tidak ada gelar juara, tidak akan greget. Untuk apa ikut pertandingan jika tidak ada juaranya? Pertanyaan seperti ini akan banyak bermunculan, wajar karena kita telah terbiasa dengan sistem turnamen yang bertujuan meraih tropi. Tetapi harus diketahui, FIFA justru menganjurkan bahwa pertandingan pembinaan usia dini hingga U-19 seharusnya tanpa memperebutkan tropi juara.

Ini tantangan untuk kita semua yang memiliki kepedulian terhadap pembinaan usia muda. Cara konvensional yang telah menjadi "budaya" dalam proses pembinaan telah terbukti, belum dapat menghadirkan prestasi bagi sepak bola Indonesia. Sebaliknya, berbagai kecurangan dan nilai yang kurang baik justru yang banyak bermunculan. Jika hal ini masih terlihat sulit dan kurang yakin akan menyedot peserta banyak, bersabarlah, karena ini merupakan cara baru yang belum populer di pembinaan kita. Namun jika cara ini ternyata memang sulit juga untuk membuka mata para pelaku pembinaan untuk mengembangkan potensi anak, bukan untuk mengedepankan kepentingan lembaga agar berprestasi yang akhirnya menjadi daya tarik orang tua untuk memasukkan anaknya pada SSB yang selalu juara, maka ada solusi lain yang akan penulis utarakan.

Sistem turnamen dengan format yang sudah terbiasa dijalani dalam pembinaan kita tetaplah jalani. Namun pihak penyelenggara turnamen dapat merubah aturan pertandingan. Salah satunya dengan membatasi kuota pemain maksimal 22 orang, sudah termasuk ke dalam line up . Kemudian, dalam setiap babak, pemain cadangan yang jumlahnya 11 wajib dimainkan. Hal ini akan membuat anak merasakan jam bertanding, meminimalisir kekecewaan anak dan orang tuanya jika tidak dimainkan dalam suatu laga. Selain itu, aura kompetitif juga masih terjaga, namun kali ini dapat dirasakan seluruh peserta yang mengikuti turnamen.

            Mari kita kembangkan potensi anak tanpa menyertakan tekanan untuk berprestasi saat dalam masa perkembangan dan pertumbuhannya. Mari kesampingkan berbagai kepentingan kita dan mulai memperbaiki sistem pembinaan yang selama ini masih terdapat berbagai masalah yang tidak kunjung usai dalam pembinaan usia dini.


Penulis,
Indra Jaya
Pelatih Sepak Bola Usia Dini


Sabtu, 23 Mei 2015

Mafia Bola Harus Pensiun

Indonesia merupakan negara yang memiliki minat besar terhadap olahraga sepak bola. Masyarakat Indonesia telah menjadikan sepak bola sebagai olahraga rakyat yang paling digemari. Namun, hal tersebut belum cukup menjadikan negeri ini menjadi negara sepak bola dengan untaian prestasi di kancah internasional. Indonesia, hanya menjadi penikmat sepak bola dunia dan menjadi salah satu market sepak bola.

Saat sepak bola belum menjadi industri seperti sekarang ini, para pelaku yang terlibat dalam olahraga invasi ini merupakan orang-orang yang murni mencintai sepak bola. Namun, saat sepak bola telah menjadi mata pencaharian, dan ada perputaran uang yang besar dalam kegiatan ini, kemurnian sepak bola telah terkontaminasi dengan berbagai kepentingan. Ketika sepak bola Indonesia masih tertatih dan sebagian orang berusaha memajukan persepakbolaan nasional, muncul kalangan lain yang memanfaatkan buruknya mental sebagian pelaku sepak bola kita. Sehingga muncul adanya pengaturan skor, pengaturan tim yang juara, dan juga kecurangan-kecurangan lain yang tidak diindahkan dalam permainan sepak bola. Tentu ini bukan perkara sepele dan sepertinya akan sulit memberantas para mafia yang telah melibatkan para pelaku sepak bola langsung, seperti pemain, pelatih, manajer, wasit, atau bahkan pengurus organisasi sepak bola itu sendiri.

Pelaku sepak bola yang tidak memiliki jiwa fairplay tentu akan mudah menerima tawaran untuk bermain curang, walaupun hati kecilnya sadar bahwa ia berada di jalur yang salah dan mencederai sportivtas. Begini, penjudi bola menawarkan uang yang diyakini lebih besar dari apa yang diterima oleh seorang, katakanlah pemain, pelatih atau wasit. Seperti yang pernah diutarakan oleh mantan pemain nasional, Rocky Putiray, yang sempat ditawari dua bulan gajinya untuk tidak mencetak gol dalam sebuah pertandingan saja. Dua bulan gaji bisa didapat dalam waktu sembilan puluh menit di lapangan, sulit untuk menolak, tetapi jika si pemain memiliki jiwa fairplay, bukan perkara sulit untuk mengatakan tidak. Hal-hal seperti itu memang tidak hanya terjadi di Indonesia, pasti di persepakbolaan dunia yang jauh lebih maju pun ada hal demikian.

Kasus yang paling menggemparkan dunia pernah terjadi di final Piala Dunia 1998. Pada tahun itu, krisis moneter tengah melanda dunia. Konon, dalam Piala Dunia Perancis terdapat “permainan” para mafia untuk mengatur pemenang di final yang mempertemukan timnas Brazil dan tuan rumah Perancis. Saat itu, masyarakat dunia lebih memilih timnas Brazil untuk menjadi juara. Selain memiliki materi pemain yang bagus, mereka juga merupakan juara bertahan yang di edisi sebelumnya mengukir sejarah sebagai juara melalui drama adu penalti yang pertama kalinya dipilih untuk menentukan pemenang. Namun hasilnya diluar prediksi, Zidane dkk. justru keluar sebagai pemenang saat membantai tim Samba dengan skor telak, 3-0. Bahkan sebelum laga, the phenomenon, Ronaldo Luiz Nazario de Lima, meringis kesakitan yang konon berpura-pura karena enggan bermain di partai puncak.

Apakah ada permainan mafia dalam hal itu? Entahlah. Namun hal seperti itu bukanlah sesuatu yang baru dalam sepak bola. Serie A, pernah tersandung kasus calciopoli. Yang menjadi pelakunya bahkan tim sebesar Juventus yang harus melepaskan gelar dan terdegradasi ke Serie B. Artinya memang bukan hanya di Indonesia, tapi kalimat “bukan hanya di Indonesia” ini jangan dijadikan alasan untuk terus melakukan kecurangan di sepak bola. Justru para pelaku sepak bola kita harus berani mengambil tindakan tegas untuk menolak tawaran haram dari para bandar judi dan mafia kelas kakap yang ingin mencederai makna fairplay. Ingat, sepak bola Indonesia belum kembali beprestasi lagi. Marilah sama-sama membangun sepak bola Indonesia, jangan korbankan kepentingan besar Ibu Pertiwi demi keuntungan individu atau golongan kecil yang justru menghambat dan merusak pembangunan ini.



Sepak bola telah menjadi mata pencaharian, tetapi carilah rezeki yang halal dari sepak bola kita. Cintai sepak bola seperti mencintai diri kita sendiri, yang harus malu jika kita mau menjual kehormatan kita demi kepentingan orang lain. Biarkan sepak bola berada di jalur yang seharusnya, yaitu mencari kemenangan dengan permainan cantik di lapangan, dengan kerja keras yang telah ditempuh dalam latihan dan pertandingan, dengan sepenuh hati memainkannya tanpa harus ada drama diluar sportivitas yang mempengaruhinya. Meraih kemenangan dengan mengalahkan lawan yang juga ingin memenangkan pertandingan jauh lebih baik ketimbang meraihnya saat lawan sengaja mengalah. Menjadi juara dengan proses yang keras akan terasa lebih bangga daripada dengan menyuap dan mengaturnya jauh-jauh hari. Dan, bermain sepenuh hati jauh lebih menghibur daripada bermain dengan paksaan yang akhirnya membobol gawang kalian sendiri. Marilah, jangan ragu untuk pensiun menjadi mafia sepak bola yang telah merusak persepakbolaan kita.

Indra Jaya

Jumat, 15 Mei 2015

Saatnya Kita Juara

Besok pertandingan final LPI yang kedua kalinya secara berturut-turut untuk SMPN 1 Lembang. Pada final tahun lalu, kita kalah secara terhormat melalui drama adu penalti. Di pertandingan besok, lawan yang kalian hadapi adalah tim yang sama pada perebutan gelar juara. Jangan menganggap tim lawan sebagai tim yang sulit untuk dikalahkan. Saat kita unggul, ingat drama apa yang terjadi pada pertandingan final sehingga lawan bisa menyamakan skor.

Tetap fokus pada pertandingan, jangan bergantung pada keputusan wasit, begitu pun besok. Tim lawan saat ini memiliki fighting spirit yang bagus, tetapi tak perlu ditakuti. Kalian juga memiliki daya juang dan mental petarung. Besok, bermain rapat adalah hal yang wajib kalian lakukan. Jangan membuat kesalahan-kesalahan yang tidak perlu. Dua gol yang masuk ke gawang kita dari dua pertandingan adalah kesalahan yang kita buat sendiri.
Hindari membuat pelanggaran di daerah pertahanan. Sekali lagi, jangan takut lawan kita besok. Ada catatan menarik dalam setiap duel kita melawan SMPN 3. Kita belum pernah kalah lebih dari selisih satu gol. Mini Soccer 2012, Bankzi kalah adu penalti di semi final. LPI 2013, kita kalah 2-1, dua gol mereka berasal dari titik putih. Mini Soccer 2014, kita menang 2-0. Dan yang teranyar, kita kalah adu penalti di final LPI 2014.

Melihat statistik itu, yakinlah, kita bukan lawan mudah buat mereka, begitu pun kita, mereka adalah lawan kuat, tapi pernah kita kalahkan dengan selisih dua gol. Fokus buat pertandingan besok, kawan! Rebut piala di tangan SMPN 3 Lembang. Selama ini tidak ada tim yang berhasil mempertahankan gelar di LPI KBB. Saatnya kalian juara dan goes to Jabar mewakili daerah kalian dan semua pelajar di KBB.
Jadilah yang terbaik dan buatlah orang tua, sekolah, dan orang-orang di lingkungan kalian bangga dengan meraih gelar juara LPI besok pagi. Semangat, siapkan pertarungan besok, tetap rileks, hindari kesalahan dan pelanggaran yang tidak perlu. Perbanyak peluang mencetak gol, korbankan semuanya untuk pertandingan besok. Tidak ada lagi takut bola, tidak ada emosi pada lawan. Ayo, jadilah angkatan pertama yang memberikan gelar juara untuk SMPN 1 Lembang. Segera torehkan tinta emas untuk diri kalian sendiri untuk kampus yang kalian cintai. Bismillah...

Senin, 04 Mei 2015

Persib-Persija Satu Selera

Perseteruan dua tim besar dalam persepakbolaan Indonesia antara Persib Bandung dan Persija Jakarta telah menjadi duel klasik dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Sebelum terjadi gesekan antara Viking (suporter Persib) dan The Jak Mania (suporter Persija), Persib sebetulnya telah memiliki musuh bebuyutan. El clasico lebih cocok disematkan pada duel antara Maung Bandung, julukan Persib, dengan Ayam Kinantan (PSMS Medan). Bagi penulis, duel Persib-PSMS lebih seru dalam segi permainan di atas lapangan hijau. Persib yang memiliki ciri khas permainan indah dari kaki ke kaki dan PSMS yang memiliki ciri permainan keras menjadi pertarungan dua karakter tim yang berbeda. Namun, sayang setelah PSMS tak lagi tampil di ISL, duel seru tersebut tak dapat lagi dinikmati.

Sematan duel klasik akhirnya dialamatkan pada duel si biru dan orange. Apalagi kedua suporter kesebelasan tidak pernah akur walaupun perdamaian sering dilakukan oleh berbagai pihak. Seperti Real Madrid dan Barcelona di La Liga, Persib dan Persija juga pernah dihuni oleh pemain yang sama. Perpindahan pemain diantara kedua tim sudah sering terjadi. Penulis mencoba mencatat perpindahan pemain saat dua tim ini belum menjadi musuh besar hingga saat ini.

Perpindahan pemain dari Persib ke Persija :
Salim Alaydrus
Pemain asal Purwakarta ini bersinar saat masih membela Persikota. Bahkan saat berseragam Persib, kemampuan terbaiknya masih bisa dirasakan untuk tim Bandung. Saat pindah ke Persija, kemampuannya mulai menurun karena sebelumnya sering cedera.

Erik Setiawan
Rahmat Afandi
Fabio Lopez Alcantara
Marwal Iskandar

Perpindahan pemain dari Persija ke Persib :
Budiman Yunus
Nama Budiman Yunus patut dikedepankan. Pemain asal Lembang yang besar bersama Bandung Raya ini menjadi legend di dua klub yang berseteru. Tahun 2001, saat Persija meraih juara Liga Indonesia, putra dari tanah sunda ini menjadi kapten tim. Namanya begitu harum dan dihargai di ibu kota, begitu pun di kampung kelahirannya saat itu. Setelah membawa Persija juara, Persib Bandung memanggilnya pulang untuk mengisi bek sayap kiri yang menjadi posisi andalannya. Walaupun tidak memberikan gelar juara bagi Pangeran Biru, kakak kandung Deden Suparhan ini telah dianggap sebagai legend oleh tim Persib. Terbukti saat Persib Legend bertanding melawan Manchaster United Legend, Budiman berkesempatan untuk unjuk kebolehan di stadion si Jalak Harupat.

Yudi Guntara
Lorenzo Cabanas
M Nasuha
M Ilham
Nur Alim
Charis Yulianto
Bergabung dengan Persib tahun 2006 dari Persija, dan saat itu ia tercatat sebagai skuad tim nasional, bahkan memegang ban kapten. Namun pemain yang pernah membela Arema ini seakan tenggelam bersama Persib. Tim yang dibelanya pun berada di titik nadir dan hampir terdegradasi.

Antonio Claudio

Atep
Perpindahan Atep adalah yang paling alot. Atep adalah pemain binaan tim internal Persib. Di usianya yang masih muda, Atep sempat membawa Persija ke parta final Liga Indonesia dan Copa Indonesia tahun 2005. Namun Atep gagal mempersembahakan gelar juara untuk tim ibu kota. Sejak saat itu, desakan bobotoh begitu besar agar manajemen Persib dapat memulangkan Atep ke Bandung. Namun hal itu tidaklah mudah, Atep memilih bertahan pada tahun 2006 hingga 2007 di Persija. Banyak jawaban beragam mengapa Atep memilih bertahan di tim Persija. Ada yang menganggap dia mematok kontrak miliaran rupiah, jual mahal, dsb. Hingga pada suatu kesempatan di tahun 2007 saat Persib berlaga melawan timnas Indonesia, Atep mendapat cemoohan keras dari para bobotoh yang hadir di stadion Siliwangi. Emosi Atep pecah saat berhasil mencetak gol indah ke gawang Tema Mursadat, selebrasinya menyiratkan bahwa dia bisa melawan tekanan mental yang diberikan oleh bobotoh. Musim ISL pertama, tepatnya tahun 2008 Atep akhirnya pulang kandang berseragam biru-biru. Bahkan ia mengenakan nomor tujuh favoritnya yang sebelumnya digunakan Salim. Hingga saat ini, ia merupakan pemain terlama di skuad Persib bersama Hariono. Sang kapten juga berhasil membawa tropi LSI 2014.

Aliyudin
Jendri Pitoy
Imran Nahumarury
Andi Supendi
Sony Kurniawan
Budi Sudarsono
Toni sucipto
Baihaki Kaizan
Arcan Iurie
Abanda

Penulis,
Indra Jaya

Kamis, 30 April 2015

Pemain Ke-12


Olahraga sepak bola, adalah olahraga permainan paling populer di jagat raya. Semua orang pasti tahu jika permainan sepak bola dimainkan oleh 22 pemain di lapangan. Artinya setiap tim hanya boleh memainkan sebelas orang pemain. Tetapi sering kita dengar pemain kedua belas dalam istilah permainan sepak bola. Ya, pemain kedua belas dalam sepak bola memang hanya sebuah istilah. Yang dimaksud pemain kedua belas tersebut adalah suporter. Suporter terkadang memang bisa menjadi nyawa kedua belas bagi sebuah tim yang sedang bertanding. Kehadirannya di tribun penonton bisa mengangkat motivasi para pemain yang didukungnya. Dengan adanya dukungan dari penonton, para pemain yang bertanding pasti mendapatkan suntikan semangat untuk bermain lebih baik lagi demi memberikan sebuah kemenangan dan juga bisa menghibur para suporter tersebut, dan itu yang sering disebut sebagai motivasi eksternal.

Sejatinya, suporter ada untuk menjadi motivator serta memberikan dukungan, apresiasi, dan juga menyemarakan suatu pertandingan. Di Indonesia, terutama di Liga tertingginya sering kita lihat para penonton yang memakai baju yang sama dengan warna baju tim yang didukungnya. Dan hampir di setiap stadion kursi penonton selalu penuh dengan kehadiran suporter. Hal tersebut membuat AFC tak ragu untuk memasukan Liga Indonesia ke dalam sepuluh besar liga yang semarak di Asia. Kita cukup bangga, karena ternyata ada sebuah pengakuan dari badan organisasi sepak bola Asia terhadap fanatisme suporter sepak bola di negara kita.

Tetapi kita jangan cepat puas dengan semua itu, karena ternyata suporter di Indonesia hanya bisa menjadi peramai saja. Itu terbukti dari yel-yel yang ada di hampir setiap stadion, terkadang bukan ditujukan untuk mendukung tim yang diidolakannya, atau untuk memberikan apresiasi terhadap para pemain yang sedang bertanding di lapangan. Nyanyian-nyanyian yang berbau rasis masih sering kita dengar di stadion yang tidak ada pengaruhnya untuk memotivasi tim yang mereka dukung. Celaan terhadap kelompok suporter lain, wasit, bahkan pemain dan pelatih sering disuarakan di dalam stadion dan ketika pertandingan berlangsung. Ada yang salahkah terhadap suporter di negara kita? Jawabannya ya. Pihak-pihak yang membangun persepakbolaan di kita hanya terfokus terhadap pembinaan pemain, peningkatan sarana dan pra sarana untuk menunjang kemajuan sepak bola di Indonesia, walaupun itu belum memberikan hasil yang bisa kita banggakan. Bahkan masih disibukkan dengan kepentingan golongan yang berujung kisruh.
Pembinaan terhadap suporter terkadang tidak diperhatikan. Hampir setiap tahun di Liga Indonesia sering terjadi kerusuhan yang diakibatkan oleh suporter, walaupun memang kerusuhan seperti itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara yang sepak bolanya sudah maju pun kerusuhan yang melibatkan suporter masih terjadi. Bedanya, di negara lain setelah terjadi kerusuhan, para suporter bisa menjadi dewasa, mungkin karena ada sebuah sanksi yang membuat mereka jera. Di Indonesia, sanksi yang diberikan terkadang tidak ada efek jera terhadap pelakunya. Jika ditangani dengan baik, kebiasan buruk suporter kita bisa saja terhenti. 

Yang lebih memprihatinkan adalah kerusuhan yang terjadi sering disebabkan karena suporter tidak bisa menerima kekalahan timnya, atau juga karena kesal terhadap keputusan wasit, walaupun terkadang keputusan yang diambil wasit itu tepat, tetapi karena kurangnya pemahaman suporter terhadap peraturan permainan dan pertandingan sepak bola, tak jarang suatu pertandingan malah berakhir dengan sebuah kerusuhan. Yang terakhir ini, mengenai pemahaman peraturan dan pertandingan sepak bola, ini sepertinya belum dipahami betul oleh sekelompok suporter di Indonesia. Seharusnya pemahaman seperti ini tidak hanya diberikan kepada pengadil pertandingan, pelatih dan juga pemain saja, tetapi suporter pun harusnya mendapatkan itu. Dan perlu diingat, untuk mendewasakan suporter di Indonesia dibutuhkan kerjasama semua pihak. Seperti perangkat pertandingan, pemain, pelatih dan juga aparat yang bertugas mengamankan sebuah pertandingan. 

Marilah kita membangun sepak bola kita ke arah yang lebih baik dalam segala aspeknya. Marilah kita belajar menjadi suporter yang baik, menjadi pemain, pelatih dan wasit yang bisa memberikan perubahan yang baik terhadap persepakbolaan Indonesia, dan juga berusaha untuk mendewasakan seluruh elemen yang terkait di sepak bola, termasuk suporter.



Indra Jaya

Sampai Dimana Sepak Bola Indonesia



                Dari tahun ke tahun, sepak bola selalu mengalami perkembangan. Perkembangan-perkembangan yang ada di sepak bola, sedikit banyak mempengaruhi kemajuan sepak bola di beberapa negara yang mengikuti dan memanfaatkan perkembangan tersebut. Dahulu, ketika sepak bola masih mengandalkan kemampuan alamiah seorang pemain, Indonesia dapat berbicara banyak di pentas sepak bola internasional. Namun seiring berkembangnya permainan sepak bola, prestasi tim nasional Indonesia mulai tertinggal dibandingkan dengan tim-tim lain yang dulu tak sebagus Tim Merah Putih. Harus diakui, Indonesia memang terlambat dalam membangun persepakbolaan. Ketika negara-negara lain telah membangun persepakbolaan menjadi lebih kompleks dan modern, Indonesia seakan masih tetap yakin pada bakat-bakat alamiah para pemainnya. Terlalu jauh memang apabila kita membandingkan persepakbolaan nasional dengan sepak bola negara-negara besar di Eropa dan Amerika Selatan. Tetapi, hal itu pun bukan sebuah kekeliruan, justru sepak bola kita butuh pembanding agar dapat terlihat dimana letak kesalahan dan kekurangan yang ada di sepak bola Indonesia.

Oficial Tim
                Terjadi perbedaan yang sangat mencolok antara tim nasional atau klub lokal dengan tim-tim sepak bola kelas dunia. Di beberapa klub lokal, kelengkapan staf di tim biasanya hanya terfokus pada penetapan manajer, pelatih kepala, asisten pelatih tehnik, pelatih fisik, fisioterapi, dan dokter tim. Dua jabatan terakhir, telah menghiasi persepakbolaan Indonesia dalam beberapa tahun ini. Patut disyukuri, karena keberadaan fisioterapi dan dokter tim memang sangat diperlukan dalam permainan yang cukup keras ini. Namun seharusnya tidak cukup sampai disitu, keberadaan nutrisionis (ahli gizi) dalam sebuah tim tentu diperlukan juga. Asupan gizi yang baik bagi kegiatan olahraga yang dilakukan selama 90 menit dengan intensitas yang fluktuatif (tetapi lebih dominan tinggi), merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang prestasi. Jumlah gizi yang diperlukan sebelum dan setelah pertandingan/ latihan dapat mempengaruhi penampilan pemain di lapangan. Kondisi seperti itu belum dapat direalisasikan oleh beberapa klub, hanya sedikit klub yang menggunakan jasa nutrisionis di Liga Indonesia. Gizi, bagi seorang atlet memang bukan faktor utama untuk meraih kesuksesan, namun asupan gizi bagi atlet adalah salah satu faktor untuk meraih prestasi.
                Kemudian keberadaan tim analis, tidak banyak klub sepak bola Indonesia yang memakai jasa tim analis untuk mengevaluasi kinerja para pemainnya. Sejauh ini, evaluasi hanya dilakukan oleh pengamatan langsung pelatih kepala dan para asistennya. Jika saja klub mau memakai jasa tim analis, maka evaluasi yang dilakukan untuk melihat sejauh mana kinerja pemain di lapangan, akan terlihat sangat jelas kelebihan dan kekurangan setiap masing-masing pemain. Karena tim analis tugasnya hanya memantau satu pemain di lapangan, tanpa harus terganggu dengan penilaian terhadap pemain lain. Namun sayangnya, masih belum banyak klub yang memakai jasa tim analis untuk mengevaluasi kinerja para pemain yang bertanding. Rahasia sukses timnas U-19 saat menjuarai Piala AFF U-19, adalah adanya tim analis dalam setiap pertandingan. Feedback-nya, tentu evaluasi yang dilakukan lebih spesifik.
                Hal lainnya, klub-klub di Indonesia masih belum mau melibatkan ahli-ahli olahragawan yang ada di lingkungannya masing-masing. Cendikiawan olahraga yang ada di Perguruan Tinggi atau Sekolah Tinggi sebenarnya dapat membantu mengembangkan prestasi sebuah tim. Klub-klub besar di benua Eropa, sudah sejak lama bekerjasama dengan para ilmuwan olahraga untuk membantu tim dalam meningkatkan prestasinya. Keberadaan ilmuwan olahraga telah memiliki peran yang jelas untuk membantu sebuah klub. Menyesuaikan pola latihan dengan suhu di tempat berlatih, menganalisis kelebihan dan kekurangan tim lawan secara langsung, pengenalan aturan permainan yang selalu mengalami penyegaran setiap lima tahun sekali dan beberapa hal lain yang bisa diberikan untuk kemajuan tim bisa didapat dengan melibatkan para ahli olahraga. Sehingga kemajuan suatu klub dapat ditingkatkan dari berbagai hal.
                Diklat Persib pernah melakukan hal tersebut ketika ditangani oleh Jaino Matos yang memilih Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan Indonesia (FPOK UPI) sebagai mitra dalam membangun tim Maung Ngora. FPOK UPI dipilih karena memiliki para ahli di bidang olahraga dan juga ditunjang dengan kelengkapan alat-alat biomekanika yang memadai untuk analisis gerak kegiatan olahraga. 

Pembinaan
Satu kata yang sebetulnya sudah sangat dipahami oleh semua insan sepak bola nasional, bahwa pembinaan pemain muda adalah hal yang sangat penting bagi kemajuan suatu tim. Pemenang tropi Piala Dunia 2014, Jerman, mengakui bahwa gelar juara yang diraihnya merupakan hasil pembinaan yang telah dilakukan dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Bagaimana dengan Indonesia? Akan muncul banyak jawaban mengapa pembinaan yang dilakukan PSSI masih belum membuahkan hasil manis. Yang utama, saya mengutamakan pembinaan di akar rumput yang selalu keluar dari koridor pembinaan yang seharusnya. Sekolah Sepak Bola (SSB), walaupun jumlahnya begitu banyak, tapi hingga saat ini, belum ada pemain yang terlahir untuk memberikan prestasi bagi tim nasional senior. Tidak usah muluk-muluk menjadi juara dunia atau Asia, regional Asia Tenggara saja tim Garuda belum pernah menjadi yang terbaik. SSB, saat ini telah banyak menyimpang dari tujuan utamanya sebagai wadah untuk membina. Saat ini tidak sedikit petinggi SSB yang justru ingin mengoleksi tropi demi menarik minat para orang tua agar mau memasukkan anaknya di SSB langganan juara.

Pembinaan kita, menurut saya, justru sudah kelewat modern, karena memaksakan anak untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh pemain yang lebih senior darinya. Pembinaan seharusnya dilakukan sesuai jenjang dan tingkatannya masing-masing. Adanya kompetisi/ turnamen level nasional dan internasional memberikan stimulus pada pelaku pembinaan untuk mengantarkan timnya menjadi juara. Efeknya, latihan dengan intensitas dan volume yang melebihi takaran usia anak sering diberikan bagi pemain yang seharusnya belum mereka terima. Hasilnya memang bagus namun bersifat sesaat, di kelompok usia, Indonesia selalu meraih prestasi internasional. Bahkan sempat mengalahkan tim-tim besar Eropa.
Kenapa bisa anak-anak muda Indonesia mengalahkan tim-tim besar tersebut? Karena itu tadi, anak-anak Indonesia sudah modern dengan mengenal kompetisi yang tujuannya sebuah tropi dan juga pola latihan yang mengarah pada prestasi, bukan pengembangan potensi. Sedangkan anak-anak di negara yang sudah maju, melakukan pembinaan melalui tahapan demi tahapan yang seharusnya, tidak mau akselerasi seperti pembinaan kita.  Marilah kita kembalikan pembinaan kita pada yang seharusnya. Bukan hanya pelatih dan pengurus SSB yang harus merubah tujuan pembinaan, diperlukan peran dan pemahaman orang tua juga untuk merealisasikan pembinaan ke arah yang lebih baik.

Kualitas Liga
Tahun 1994, PSSI membentuk liga baru gabungan dari kompetisi Perserikatan (amatir) dan Galatama (semi pro), jadilah Liga Indonesia. Pada liga yang pertama kalinya dijuarai oleh Persib ini, PSSI berharap tim-tim di Indonesia bisa menjadi tim profesional. Namun nyatanya, selama 13 tahun, tim-tim Liga Indonesia masih didanai oleh APBD daerah masing-masing. Tahun 2008, Liga Super Indonesia terbentuk, tujuannya masih sama seperti membentuk Liga Indonesia 1994. Memasuki tahun ke-7, beberapa klub telah mandiri dan lepas dari dana APBD. Tetapi tidak sedikit pula tim yang tak layak verifikasi, entah itu karena keuangan yang tidak sehat, maupun tidak memiliki lapangan yang memadai.
Liga Super Indonesia, yang kini berubah menjadi QNB League, sebagai liga tertinggi di tanah air memang memiliki daya tarik luar biasa bagi penikmat sepak bola. Tak heran, jika LSI sempat masuk ke dalam sepuluh besar liga paling semarak di Asia, namun semarak saja tidaklah cukup. Tinggal bagaimana PT Liga, selaku operator kompetisi, menjalankan liga dengan baik.
Musim ini, QNB League memasuki edisi ke-7, seharusnya kompetisi kasta terteringgi ini menunjukkan progres yang baik. Namun sebelum liga bergulir, ada ketidaksepahaman antara PSSI, PT Liga, dan BOPI. Berawal dari mundurnya kick off QNB, yang semestinya tidak boleh ada intervensi dari pihak pemerintah. Tidak hanya sampai disitu, pemerintah, melalui BOPI dan Kemenpora juga melarang Arema dan Persebaya untuk mengikuti liga karena dianggap belum memenuhi semua syarat. Awalnya, kontestan QNB League yang semula 18 tim, BOPI menyarankan hanya 16 tim. Namun, PSSI dan PT Liga keukeuh menjalankan kompetisi dengan 18 tim.
Ketika liga sudah berjalan, operator liga kembali merubah jadwal kompetisi dengan mengundur sejumlah pertandingan di tanggal 12-25 April. Setelah itu, Kemenpora membekukan PSSI saat kepengurusan baru PSSI dibentuk, sehari sebelum PSSI berulang tahun. Kenapa selalu seperti ini liga tertinggi di negeri kita? Di saat tim sedang belajar menuju profesional, sang induk sepak bola dan lembaga pemerintahan seakan memberikan contoh yang tidak profesional. Semoga polemik ini menjadi yang terakhir dan tidak pernah lagi muncul hal-hal yang tidak profesional di persepakbolaan kita. PSSI dan Kemenpora harus segera menemukan solusi terbaik dan mau duduk bersama untuk membangun persepakbolaan yang sudah terlanjur menjadi hiburan rakyat dan sumber mata pencaharian (bagi pelaku langsung maupun pelaku tidak langsung).

Metode Latihan Modern
Selanjutnya, saya ingin membahas tentang metode latihan. Saat ini, sedang ramai para pelatih sepak bola Eropa memakai metode latihan footbal conditioning. Bahkan, salah satu akademi terbaik di dunia, Feyenoord, sukses mencetak pemain-pemain hebat di tim nasional junior Belanda saat ini melalui metode football conditioning. Selain itu, ada modernisasi one day one training yang pernah dipakai Real Madrid, atau juga sepak bola possesion ala Barcelona. Tim-tim tersebut memang sukses menjadi tim yang ditakuti di Eropa, bahkan dunia. Mereka ditunjang dengan fasilitas yang sangat komplit, sumber daya pelatih dan pemain yang memiliki intelektual tinggi, dan juga fondasi fisik, tehnik, dan gizi pemain yang memang sudah sesuai standar pesepakbola profesional. Apakah bisa sepak bola Indonesia memakai metode-metode modern di atas?
Sebelum menjawab, saya ingin mengatakan sesuatu hal terlebih dahulu. Tidak ada metode latihan yang jelek, tidak ada metode latihan yang bagus, yang ada adalah cocok atau tidak metode latihan itu digunakan. Nah, seperti yang saya katakan di atas, tim-tim besar seperti Feyenoord, Real Madrid, dan Barcelona, cocok menggunakan metode-metode latihan yang dianutnya, karena ditunjang dengan berbagai hal yang telah saya jelaskan di atas. Lalu, saya ulang kembali, apakah sepak bola Indonesia bisa memakai metode modern tersebut? Jawabannya, bisa. Tetapi entah berapa lama membuahkan hasil seperti tim-tim Eropa.
Namun, saya menilai, saat ini sepak bola Indonesia belum cocok menggunakan metode modern seperti tim-tim Eropa. Hal ini bukan suatu rasa pesimistis, atau keraguan terhadap penerapannya, namun masih banyak faktor penunjang lainnya yang harus dipersiapkan terlebih dahulu sebelum memilih metode modern seperti di Eropa. Beberapa pelatih beken Indonesia telah menerapkan metode-metode modern tersebut pada tim yang diasuhnya, namun belum memberikan hasil seperti yang diraih tim yang mereka tiru. Kenapa seperti itu, bukankah metodenya sama? Iya, metode yang digunakan sama, namun bagaimana dengan fasilitas penunjangnya, bagaimana dengan intelektual pemainnya? Bagaimana juga dengan fondasi fisik, tehnik dan gizi yang dimiliki pemain kita? Bukan saya mengerdilkan pemain kita. Namun, kita harus selektif dalam memilih sesuatu, jangan asal jiplak karena melihat hasil yang diperoleh tanpa melihat prosesnya seperti apa dan bagaimana.
Kita bahas tentang sepak bola possesion, tim Barca bisa sukses dengan tiki-takanya karena ditunjang pemain yang memiliki tehnik bola yang sempurna. Diperlukan passing akurat, kontrol bola yang baik, visi bermain yang bagus, pergerakan tanpa bola yang baik, kerjasama tim yang bagus, dan tentu kondisi lapangan yang baik pula. Kita bahas kemampuan passing, kontrol bola, dan visi bermain pemain. Para pemain  mutlak harus memiliki itu semua jika ingin menganut sepak bola possesion. Jika tidak, tentu metode yang digunakan tidak akan berjalan dengan baik. Sedangkan, menurut penulis, permainan seperti itu belum menjadi ciri dari pemain Indonesia. Para pemain kita lebih senang menunjukkan skill bermain dengan kemampuan individunya. Tidak bisa dipungkiri, pelatih, penonton dan pemain sendiri lebih senang dan seakan terlihat “wah” jika mampu melewati lawan dengan skill yang ciamik. Hal yang telah menjadi karakter dan akan berimbas pada kerjasama tim yang diperlukan dalam sepak bola possesion. Apalagi adanya tuntutan menang dari berbagai pihak, membuat permainan mengarah pada tujuan untuk membuat gol cepat, sehingga membentuk karakter pemain yang tidak memiliki kesabaran dalam bermain. Lalu kondisi lapangan, di Indonesia belum semua lapangan memiliki struktur yang rata, aliran bola masih terlihat berjalan tidak baik. Hal ini tentu mempersulit pemain untuk mengontrol bola.
Saya yakin, suatu saat nanti, Indonesia akan kembali terbang tinggi di persepakbolaan dunia jika terus mau belajar, berusaha dan bekerja keras dengan dibarengi kecerdasan dan rasionalitas. Tentu semua itu harus dibangun dari berbagai aspek dan dibutuhkan pula kerjasama semua pelaku sepak bola, baik itu pelaku langsung maupun tidak langsung. Sudah terlalu lama kita tertidur, ketika negara-negara lain telah berlari menuju sepak bola profesional dan modern. Ayo, Indonesia pun bisa! 

Penulis,
Indra Jaya