Saat sepak bola belum menjadi industri seperti sekarang ini, para pelaku yang terlibat dalam olahraga invasi ini merupakan orang-orang yang murni mencintai sepak bola. Namun, saat sepak bola telah menjadi mata pencaharian, dan ada perputaran uang yang besar dalam kegiatan ini, kemurnian sepak bola telah terkontaminasi dengan berbagai kepentingan. Ketika sepak bola Indonesia masih tertatih dan sebagian orang berusaha memajukan persepakbolaan nasional, muncul kalangan lain yang memanfaatkan buruknya mental sebagian pelaku sepak bola kita. Sehingga muncul adanya pengaturan skor, pengaturan tim yang juara, dan juga kecurangan-kecurangan lain yang tidak diindahkan dalam permainan sepak bola. Tentu ini bukan perkara sepele dan sepertinya akan sulit memberantas para mafia yang telah melibatkan para pelaku sepak bola langsung, seperti pemain, pelatih, manajer, wasit, atau bahkan pengurus organisasi sepak bola itu sendiri.
Pelaku sepak bola yang tidak memiliki jiwa fairplay tentu akan mudah menerima tawaran untuk bermain curang, walaupun hati kecilnya sadar bahwa ia berada di jalur yang salah dan mencederai sportivtas. Begini, penjudi bola menawarkan uang yang diyakini lebih besar dari apa yang diterima oleh seorang, katakanlah pemain, pelatih atau wasit. Seperti yang pernah diutarakan oleh mantan pemain nasional, Rocky Putiray, yang sempat ditawari dua bulan gajinya untuk tidak mencetak gol dalam sebuah pertandingan saja. Dua bulan gaji bisa didapat dalam waktu sembilan puluh menit di lapangan, sulit untuk menolak, tetapi jika si pemain memiliki jiwa fairplay, bukan perkara sulit untuk mengatakan tidak. Hal-hal seperti itu memang tidak hanya terjadi di Indonesia, pasti di persepakbolaan dunia yang jauh lebih maju pun ada hal demikian.
Kasus yang paling menggemparkan dunia pernah terjadi di final Piala Dunia 1998. Pada tahun itu, krisis moneter tengah melanda dunia. Konon, dalam Piala Dunia Perancis terdapat “permainan” para mafia untuk mengatur pemenang di final yang mempertemukan timnas Brazil dan tuan rumah Perancis. Saat itu, masyarakat dunia lebih memilih timnas Brazil untuk menjadi juara. Selain memiliki materi pemain yang bagus, mereka juga merupakan juara bertahan yang di edisi sebelumnya mengukir sejarah sebagai juara melalui drama adu penalti yang pertama kalinya dipilih untuk menentukan pemenang. Namun hasilnya diluar prediksi, Zidane dkk. justru keluar sebagai pemenang saat membantai tim Samba dengan skor telak, 3-0. Bahkan sebelum laga, the phenomenon, Ronaldo Luiz Nazario de Lima, meringis kesakitan yang konon berpura-pura karena enggan bermain di partai puncak.
Apakah ada permainan mafia dalam hal itu? Entahlah. Namun hal seperti itu bukanlah sesuatu yang baru dalam sepak bola. Serie A, pernah tersandung kasus calciopoli. Yang menjadi pelakunya bahkan tim sebesar Juventus yang harus melepaskan gelar dan terdegradasi ke Serie B. Artinya memang bukan hanya di Indonesia, tapi kalimat “bukan hanya di Indonesia” ini jangan dijadikan alasan untuk terus melakukan kecurangan di sepak bola. Justru para pelaku sepak bola kita harus berani mengambil tindakan tegas untuk menolak tawaran haram dari para bandar judi dan mafia kelas kakap yang ingin mencederai makna fairplay. Ingat, sepak bola Indonesia belum kembali beprestasi lagi. Marilah sama-sama membangun sepak bola Indonesia, jangan korbankan kepentingan besar Ibu Pertiwi demi keuntungan individu atau golongan kecil yang justru menghambat dan merusak pembangunan ini.
Sepak bola telah menjadi mata pencaharian, tetapi carilah rezeki yang halal dari sepak bola kita. Cintai sepak bola seperti mencintai diri kita sendiri, yang harus malu jika kita mau menjual kehormatan kita demi kepentingan orang lain. Biarkan sepak bola berada di jalur yang seharusnya, yaitu mencari kemenangan dengan permainan cantik di lapangan, dengan kerja keras yang telah ditempuh dalam latihan dan pertandingan, dengan sepenuh hati memainkannya tanpa harus ada drama diluar sportivitas yang mempengaruhinya. Meraih kemenangan dengan mengalahkan lawan yang juga ingin memenangkan pertandingan jauh lebih baik ketimbang meraihnya saat lawan sengaja mengalah. Menjadi juara dengan proses yang keras akan terasa lebih bangga daripada dengan menyuap dan mengaturnya jauh-jauh hari. Dan, bermain sepenuh hati jauh lebih menghibur daripada bermain dengan paksaan yang akhirnya membobol gawang kalian sendiri. Marilah, jangan ragu untuk pensiun menjadi mafia sepak bola yang telah merusak persepakbolaan kita.
Indra Jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar