Kamis, 30 April 2015

Pemain Ke-12


Olahraga sepak bola, adalah olahraga permainan paling populer di jagat raya. Semua orang pasti tahu jika permainan sepak bola dimainkan oleh 22 pemain di lapangan. Artinya setiap tim hanya boleh memainkan sebelas orang pemain. Tetapi sering kita dengar pemain kedua belas dalam istilah permainan sepak bola. Ya, pemain kedua belas dalam sepak bola memang hanya sebuah istilah. Yang dimaksud pemain kedua belas tersebut adalah suporter. Suporter terkadang memang bisa menjadi nyawa kedua belas bagi sebuah tim yang sedang bertanding. Kehadirannya di tribun penonton bisa mengangkat motivasi para pemain yang didukungnya. Dengan adanya dukungan dari penonton, para pemain yang bertanding pasti mendapatkan suntikan semangat untuk bermain lebih baik lagi demi memberikan sebuah kemenangan dan juga bisa menghibur para suporter tersebut, dan itu yang sering disebut sebagai motivasi eksternal.

Sejatinya, suporter ada untuk menjadi motivator serta memberikan dukungan, apresiasi, dan juga menyemarakan suatu pertandingan. Di Indonesia, terutama di Liga tertingginya sering kita lihat para penonton yang memakai baju yang sama dengan warna baju tim yang didukungnya. Dan hampir di setiap stadion kursi penonton selalu penuh dengan kehadiran suporter. Hal tersebut membuat AFC tak ragu untuk memasukan Liga Indonesia ke dalam sepuluh besar liga yang semarak di Asia. Kita cukup bangga, karena ternyata ada sebuah pengakuan dari badan organisasi sepak bola Asia terhadap fanatisme suporter sepak bola di negara kita.

Tetapi kita jangan cepat puas dengan semua itu, karena ternyata suporter di Indonesia hanya bisa menjadi peramai saja. Itu terbukti dari yel-yel yang ada di hampir setiap stadion, terkadang bukan ditujukan untuk mendukung tim yang diidolakannya, atau untuk memberikan apresiasi terhadap para pemain yang sedang bertanding di lapangan. Nyanyian-nyanyian yang berbau rasis masih sering kita dengar di stadion yang tidak ada pengaruhnya untuk memotivasi tim yang mereka dukung. Celaan terhadap kelompok suporter lain, wasit, bahkan pemain dan pelatih sering disuarakan di dalam stadion dan ketika pertandingan berlangsung. Ada yang salahkah terhadap suporter di negara kita? Jawabannya ya. Pihak-pihak yang membangun persepakbolaan di kita hanya terfokus terhadap pembinaan pemain, peningkatan sarana dan pra sarana untuk menunjang kemajuan sepak bola di Indonesia, walaupun itu belum memberikan hasil yang bisa kita banggakan. Bahkan masih disibukkan dengan kepentingan golongan yang berujung kisruh.
Pembinaan terhadap suporter terkadang tidak diperhatikan. Hampir setiap tahun di Liga Indonesia sering terjadi kerusuhan yang diakibatkan oleh suporter, walaupun memang kerusuhan seperti itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara yang sepak bolanya sudah maju pun kerusuhan yang melibatkan suporter masih terjadi. Bedanya, di negara lain setelah terjadi kerusuhan, para suporter bisa menjadi dewasa, mungkin karena ada sebuah sanksi yang membuat mereka jera. Di Indonesia, sanksi yang diberikan terkadang tidak ada efek jera terhadap pelakunya. Jika ditangani dengan baik, kebiasan buruk suporter kita bisa saja terhenti. 

Yang lebih memprihatinkan adalah kerusuhan yang terjadi sering disebabkan karena suporter tidak bisa menerima kekalahan timnya, atau juga karena kesal terhadap keputusan wasit, walaupun terkadang keputusan yang diambil wasit itu tepat, tetapi karena kurangnya pemahaman suporter terhadap peraturan permainan dan pertandingan sepak bola, tak jarang suatu pertandingan malah berakhir dengan sebuah kerusuhan. Yang terakhir ini, mengenai pemahaman peraturan dan pertandingan sepak bola, ini sepertinya belum dipahami betul oleh sekelompok suporter di Indonesia. Seharusnya pemahaman seperti ini tidak hanya diberikan kepada pengadil pertandingan, pelatih dan juga pemain saja, tetapi suporter pun harusnya mendapatkan itu. Dan perlu diingat, untuk mendewasakan suporter di Indonesia dibutuhkan kerjasama semua pihak. Seperti perangkat pertandingan, pemain, pelatih dan juga aparat yang bertugas mengamankan sebuah pertandingan. 

Marilah kita membangun sepak bola kita ke arah yang lebih baik dalam segala aspeknya. Marilah kita belajar menjadi suporter yang baik, menjadi pemain, pelatih dan wasit yang bisa memberikan perubahan yang baik terhadap persepakbolaan Indonesia, dan juga berusaha untuk mendewasakan seluruh elemen yang terkait di sepak bola, termasuk suporter.



Indra Jaya

Sampai Dimana Sepak Bola Indonesia



                Dari tahun ke tahun, sepak bola selalu mengalami perkembangan. Perkembangan-perkembangan yang ada di sepak bola, sedikit banyak mempengaruhi kemajuan sepak bola di beberapa negara yang mengikuti dan memanfaatkan perkembangan tersebut. Dahulu, ketika sepak bola masih mengandalkan kemampuan alamiah seorang pemain, Indonesia dapat berbicara banyak di pentas sepak bola internasional. Namun seiring berkembangnya permainan sepak bola, prestasi tim nasional Indonesia mulai tertinggal dibandingkan dengan tim-tim lain yang dulu tak sebagus Tim Merah Putih. Harus diakui, Indonesia memang terlambat dalam membangun persepakbolaan. Ketika negara-negara lain telah membangun persepakbolaan menjadi lebih kompleks dan modern, Indonesia seakan masih tetap yakin pada bakat-bakat alamiah para pemainnya. Terlalu jauh memang apabila kita membandingkan persepakbolaan nasional dengan sepak bola negara-negara besar di Eropa dan Amerika Selatan. Tetapi, hal itu pun bukan sebuah kekeliruan, justru sepak bola kita butuh pembanding agar dapat terlihat dimana letak kesalahan dan kekurangan yang ada di sepak bola Indonesia.

Oficial Tim
                Terjadi perbedaan yang sangat mencolok antara tim nasional atau klub lokal dengan tim-tim sepak bola kelas dunia. Di beberapa klub lokal, kelengkapan staf di tim biasanya hanya terfokus pada penetapan manajer, pelatih kepala, asisten pelatih tehnik, pelatih fisik, fisioterapi, dan dokter tim. Dua jabatan terakhir, telah menghiasi persepakbolaan Indonesia dalam beberapa tahun ini. Patut disyukuri, karena keberadaan fisioterapi dan dokter tim memang sangat diperlukan dalam permainan yang cukup keras ini. Namun seharusnya tidak cukup sampai disitu, keberadaan nutrisionis (ahli gizi) dalam sebuah tim tentu diperlukan juga. Asupan gizi yang baik bagi kegiatan olahraga yang dilakukan selama 90 menit dengan intensitas yang fluktuatif (tetapi lebih dominan tinggi), merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang prestasi. Jumlah gizi yang diperlukan sebelum dan setelah pertandingan/ latihan dapat mempengaruhi penampilan pemain di lapangan. Kondisi seperti itu belum dapat direalisasikan oleh beberapa klub, hanya sedikit klub yang menggunakan jasa nutrisionis di Liga Indonesia. Gizi, bagi seorang atlet memang bukan faktor utama untuk meraih kesuksesan, namun asupan gizi bagi atlet adalah salah satu faktor untuk meraih prestasi.
                Kemudian keberadaan tim analis, tidak banyak klub sepak bola Indonesia yang memakai jasa tim analis untuk mengevaluasi kinerja para pemainnya. Sejauh ini, evaluasi hanya dilakukan oleh pengamatan langsung pelatih kepala dan para asistennya. Jika saja klub mau memakai jasa tim analis, maka evaluasi yang dilakukan untuk melihat sejauh mana kinerja pemain di lapangan, akan terlihat sangat jelas kelebihan dan kekurangan setiap masing-masing pemain. Karena tim analis tugasnya hanya memantau satu pemain di lapangan, tanpa harus terganggu dengan penilaian terhadap pemain lain. Namun sayangnya, masih belum banyak klub yang memakai jasa tim analis untuk mengevaluasi kinerja para pemain yang bertanding. Rahasia sukses timnas U-19 saat menjuarai Piala AFF U-19, adalah adanya tim analis dalam setiap pertandingan. Feedback-nya, tentu evaluasi yang dilakukan lebih spesifik.
                Hal lainnya, klub-klub di Indonesia masih belum mau melibatkan ahli-ahli olahragawan yang ada di lingkungannya masing-masing. Cendikiawan olahraga yang ada di Perguruan Tinggi atau Sekolah Tinggi sebenarnya dapat membantu mengembangkan prestasi sebuah tim. Klub-klub besar di benua Eropa, sudah sejak lama bekerjasama dengan para ilmuwan olahraga untuk membantu tim dalam meningkatkan prestasinya. Keberadaan ilmuwan olahraga telah memiliki peran yang jelas untuk membantu sebuah klub. Menyesuaikan pola latihan dengan suhu di tempat berlatih, menganalisis kelebihan dan kekurangan tim lawan secara langsung, pengenalan aturan permainan yang selalu mengalami penyegaran setiap lima tahun sekali dan beberapa hal lain yang bisa diberikan untuk kemajuan tim bisa didapat dengan melibatkan para ahli olahraga. Sehingga kemajuan suatu klub dapat ditingkatkan dari berbagai hal.
                Diklat Persib pernah melakukan hal tersebut ketika ditangani oleh Jaino Matos yang memilih Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan Indonesia (FPOK UPI) sebagai mitra dalam membangun tim Maung Ngora. FPOK UPI dipilih karena memiliki para ahli di bidang olahraga dan juga ditunjang dengan kelengkapan alat-alat biomekanika yang memadai untuk analisis gerak kegiatan olahraga. 

Pembinaan
Satu kata yang sebetulnya sudah sangat dipahami oleh semua insan sepak bola nasional, bahwa pembinaan pemain muda adalah hal yang sangat penting bagi kemajuan suatu tim. Pemenang tropi Piala Dunia 2014, Jerman, mengakui bahwa gelar juara yang diraihnya merupakan hasil pembinaan yang telah dilakukan dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Bagaimana dengan Indonesia? Akan muncul banyak jawaban mengapa pembinaan yang dilakukan PSSI masih belum membuahkan hasil manis. Yang utama, saya mengutamakan pembinaan di akar rumput yang selalu keluar dari koridor pembinaan yang seharusnya. Sekolah Sepak Bola (SSB), walaupun jumlahnya begitu banyak, tapi hingga saat ini, belum ada pemain yang terlahir untuk memberikan prestasi bagi tim nasional senior. Tidak usah muluk-muluk menjadi juara dunia atau Asia, regional Asia Tenggara saja tim Garuda belum pernah menjadi yang terbaik. SSB, saat ini telah banyak menyimpang dari tujuan utamanya sebagai wadah untuk membina. Saat ini tidak sedikit petinggi SSB yang justru ingin mengoleksi tropi demi menarik minat para orang tua agar mau memasukkan anaknya di SSB langganan juara.

Pembinaan kita, menurut saya, justru sudah kelewat modern, karena memaksakan anak untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh pemain yang lebih senior darinya. Pembinaan seharusnya dilakukan sesuai jenjang dan tingkatannya masing-masing. Adanya kompetisi/ turnamen level nasional dan internasional memberikan stimulus pada pelaku pembinaan untuk mengantarkan timnya menjadi juara. Efeknya, latihan dengan intensitas dan volume yang melebihi takaran usia anak sering diberikan bagi pemain yang seharusnya belum mereka terima. Hasilnya memang bagus namun bersifat sesaat, di kelompok usia, Indonesia selalu meraih prestasi internasional. Bahkan sempat mengalahkan tim-tim besar Eropa.
Kenapa bisa anak-anak muda Indonesia mengalahkan tim-tim besar tersebut? Karena itu tadi, anak-anak Indonesia sudah modern dengan mengenal kompetisi yang tujuannya sebuah tropi dan juga pola latihan yang mengarah pada prestasi, bukan pengembangan potensi. Sedangkan anak-anak di negara yang sudah maju, melakukan pembinaan melalui tahapan demi tahapan yang seharusnya, tidak mau akselerasi seperti pembinaan kita.  Marilah kita kembalikan pembinaan kita pada yang seharusnya. Bukan hanya pelatih dan pengurus SSB yang harus merubah tujuan pembinaan, diperlukan peran dan pemahaman orang tua juga untuk merealisasikan pembinaan ke arah yang lebih baik.

Kualitas Liga
Tahun 1994, PSSI membentuk liga baru gabungan dari kompetisi Perserikatan (amatir) dan Galatama (semi pro), jadilah Liga Indonesia. Pada liga yang pertama kalinya dijuarai oleh Persib ini, PSSI berharap tim-tim di Indonesia bisa menjadi tim profesional. Namun nyatanya, selama 13 tahun, tim-tim Liga Indonesia masih didanai oleh APBD daerah masing-masing. Tahun 2008, Liga Super Indonesia terbentuk, tujuannya masih sama seperti membentuk Liga Indonesia 1994. Memasuki tahun ke-7, beberapa klub telah mandiri dan lepas dari dana APBD. Tetapi tidak sedikit pula tim yang tak layak verifikasi, entah itu karena keuangan yang tidak sehat, maupun tidak memiliki lapangan yang memadai.
Liga Super Indonesia, yang kini berubah menjadi QNB League, sebagai liga tertinggi di tanah air memang memiliki daya tarik luar biasa bagi penikmat sepak bola. Tak heran, jika LSI sempat masuk ke dalam sepuluh besar liga paling semarak di Asia, namun semarak saja tidaklah cukup. Tinggal bagaimana PT Liga, selaku operator kompetisi, menjalankan liga dengan baik.
Musim ini, QNB League memasuki edisi ke-7, seharusnya kompetisi kasta terteringgi ini menunjukkan progres yang baik. Namun sebelum liga bergulir, ada ketidaksepahaman antara PSSI, PT Liga, dan BOPI. Berawal dari mundurnya kick off QNB, yang semestinya tidak boleh ada intervensi dari pihak pemerintah. Tidak hanya sampai disitu, pemerintah, melalui BOPI dan Kemenpora juga melarang Arema dan Persebaya untuk mengikuti liga karena dianggap belum memenuhi semua syarat. Awalnya, kontestan QNB League yang semula 18 tim, BOPI menyarankan hanya 16 tim. Namun, PSSI dan PT Liga keukeuh menjalankan kompetisi dengan 18 tim.
Ketika liga sudah berjalan, operator liga kembali merubah jadwal kompetisi dengan mengundur sejumlah pertandingan di tanggal 12-25 April. Setelah itu, Kemenpora membekukan PSSI saat kepengurusan baru PSSI dibentuk, sehari sebelum PSSI berulang tahun. Kenapa selalu seperti ini liga tertinggi di negeri kita? Di saat tim sedang belajar menuju profesional, sang induk sepak bola dan lembaga pemerintahan seakan memberikan contoh yang tidak profesional. Semoga polemik ini menjadi yang terakhir dan tidak pernah lagi muncul hal-hal yang tidak profesional di persepakbolaan kita. PSSI dan Kemenpora harus segera menemukan solusi terbaik dan mau duduk bersama untuk membangun persepakbolaan yang sudah terlanjur menjadi hiburan rakyat dan sumber mata pencaharian (bagi pelaku langsung maupun pelaku tidak langsung).

Metode Latihan Modern
Selanjutnya, saya ingin membahas tentang metode latihan. Saat ini, sedang ramai para pelatih sepak bola Eropa memakai metode latihan footbal conditioning. Bahkan, salah satu akademi terbaik di dunia, Feyenoord, sukses mencetak pemain-pemain hebat di tim nasional junior Belanda saat ini melalui metode football conditioning. Selain itu, ada modernisasi one day one training yang pernah dipakai Real Madrid, atau juga sepak bola possesion ala Barcelona. Tim-tim tersebut memang sukses menjadi tim yang ditakuti di Eropa, bahkan dunia. Mereka ditunjang dengan fasilitas yang sangat komplit, sumber daya pelatih dan pemain yang memiliki intelektual tinggi, dan juga fondasi fisik, tehnik, dan gizi pemain yang memang sudah sesuai standar pesepakbola profesional. Apakah bisa sepak bola Indonesia memakai metode-metode modern di atas?
Sebelum menjawab, saya ingin mengatakan sesuatu hal terlebih dahulu. Tidak ada metode latihan yang jelek, tidak ada metode latihan yang bagus, yang ada adalah cocok atau tidak metode latihan itu digunakan. Nah, seperti yang saya katakan di atas, tim-tim besar seperti Feyenoord, Real Madrid, dan Barcelona, cocok menggunakan metode-metode latihan yang dianutnya, karena ditunjang dengan berbagai hal yang telah saya jelaskan di atas. Lalu, saya ulang kembali, apakah sepak bola Indonesia bisa memakai metode modern tersebut? Jawabannya, bisa. Tetapi entah berapa lama membuahkan hasil seperti tim-tim Eropa.
Namun, saya menilai, saat ini sepak bola Indonesia belum cocok menggunakan metode modern seperti tim-tim Eropa. Hal ini bukan suatu rasa pesimistis, atau keraguan terhadap penerapannya, namun masih banyak faktor penunjang lainnya yang harus dipersiapkan terlebih dahulu sebelum memilih metode modern seperti di Eropa. Beberapa pelatih beken Indonesia telah menerapkan metode-metode modern tersebut pada tim yang diasuhnya, namun belum memberikan hasil seperti yang diraih tim yang mereka tiru. Kenapa seperti itu, bukankah metodenya sama? Iya, metode yang digunakan sama, namun bagaimana dengan fasilitas penunjangnya, bagaimana dengan intelektual pemainnya? Bagaimana juga dengan fondasi fisik, tehnik dan gizi yang dimiliki pemain kita? Bukan saya mengerdilkan pemain kita. Namun, kita harus selektif dalam memilih sesuatu, jangan asal jiplak karena melihat hasil yang diperoleh tanpa melihat prosesnya seperti apa dan bagaimana.
Kita bahas tentang sepak bola possesion, tim Barca bisa sukses dengan tiki-takanya karena ditunjang pemain yang memiliki tehnik bola yang sempurna. Diperlukan passing akurat, kontrol bola yang baik, visi bermain yang bagus, pergerakan tanpa bola yang baik, kerjasama tim yang bagus, dan tentu kondisi lapangan yang baik pula. Kita bahas kemampuan passing, kontrol bola, dan visi bermain pemain. Para pemain  mutlak harus memiliki itu semua jika ingin menganut sepak bola possesion. Jika tidak, tentu metode yang digunakan tidak akan berjalan dengan baik. Sedangkan, menurut penulis, permainan seperti itu belum menjadi ciri dari pemain Indonesia. Para pemain kita lebih senang menunjukkan skill bermain dengan kemampuan individunya. Tidak bisa dipungkiri, pelatih, penonton dan pemain sendiri lebih senang dan seakan terlihat “wah” jika mampu melewati lawan dengan skill yang ciamik. Hal yang telah menjadi karakter dan akan berimbas pada kerjasama tim yang diperlukan dalam sepak bola possesion. Apalagi adanya tuntutan menang dari berbagai pihak, membuat permainan mengarah pada tujuan untuk membuat gol cepat, sehingga membentuk karakter pemain yang tidak memiliki kesabaran dalam bermain. Lalu kondisi lapangan, di Indonesia belum semua lapangan memiliki struktur yang rata, aliran bola masih terlihat berjalan tidak baik. Hal ini tentu mempersulit pemain untuk mengontrol bola.
Saya yakin, suatu saat nanti, Indonesia akan kembali terbang tinggi di persepakbolaan dunia jika terus mau belajar, berusaha dan bekerja keras dengan dibarengi kecerdasan dan rasionalitas. Tentu semua itu harus dibangun dari berbagai aspek dan dibutuhkan pula kerjasama semua pelaku sepak bola, baik itu pelaku langsung maupun tidak langsung. Sudah terlalu lama kita tertidur, ketika negara-negara lain telah berlari menuju sepak bola profesional dan modern. Ayo, Indonesia pun bisa! 

Penulis,
Indra Jaya


Senin, 27 April 2015

Persib Butut

Persib merupakan salah satu tim besar yang beredar di kompetisi Liga Indonesia. Pamor sebagai tim besar, didapat Persib karena memiliki banyak prestasi dalam kancah persepakbolaan nasional. Selain itu, kehadiran bobotoh sebagai pendukung menjadikan tim ini semakin terlihat besar. Terbukti, saat Persib menjuarai ISL 2014, Bandung berubah menjadi lautan biru, euforia bobotoh bahkan menjadi perhatian bagi mantan orang nomor satu di Indonesia, SBY. Tidak cukup sampai disitu, keberhasilan Persib kembali menjadi juara juga mendapatkan perhatian dari sang presiden FIFA, yang memberikan selamat melalui surat yang dikirim ke PSSI.

Persib memang telah mendunia, kepopulerannya telah mengalahkan tim besar seperti Barcelona, Real Madrid, dan AC Milan, karena menjadi tim paling populer yang paling banyak dicari di dumay. Faktor bobotoh pula, yang membuat kostum Persib diramaikan oleh belasan sponsor yang mau mendanai kebutuhan Pangeran Biru.

Bukan hanya Persib, bobotoh pun telah banyak mengukir rekor menakjubkan di persepakbolaan nasional. Tahun 1985 saat final perserikatan yang mempertemukan Persib dan PSMS, rekor penonton terbanyak terjadi ketika 150.000 pasang mata menyaksikan langsung pertandingan dua musuh bebuyutan tersebut. Jumlah penonton yang mayoritas bobotoh itu melebihi kapasitas tempat duduk penonton GBK yang saat itu hanya dapat menampung 80.000 penonton saja. Bobotoh memang bukan organisasi kelompok suporter yang memiliki ketua, sekjen, dsb.

Bobotoh hanya sebutan bagi suporter Persib. Namun bila berbicara tentang kelompok suporter di Indonesia, pelopor dan juga merupakan kelompok suporter pertama lahir dari kalangan bobotoh. Pada tahun 1993, beberapa bobotoh yang sering menempati tribun selatan stadion Siliwangi, berinisiatif mewadahi para bobotoh dengan membentuk Viking. Kelompok suporter yang diketuai Heru Joko ini dapat memberikan stimulus pada suporter tim lain, sehingga banyak yang mencontoh Viking dalam berorganisasi, termasuk The Jakmania, melalui Gugun Gondrong yang dulu merupakan sahabat Ayi Beutik, panglima Viking.

Tiada gading yang tak retak, istilah itu memang berlaku pada segala kehidupan manusia, tak terkecuali bagi bobotoh. Pada awal tahun 2000-an, saat Persib sempat mengalami penurunan prestasi, kondisi bobotoh pun pernah sampai di titik nadir. Nama baik bobotoh menjadi rusak akibat segelintir oknum yang berlaku kekanak-kanakan. Pada saat Persib hampir terdegradasi di tahun 2002/ 2003, sebagian bobotoh mulai frustasi.

Ketika Persib bermain buruk dan mengalami kekalahan di kandang, toko-toko di pinggir jalan akan segera tutup. Loh, apa hubungannya? Ketika kekalahan demi kekalahan dialami sang maung di kandang, oknum bobotoh akan beraksi menghancurkan kaca-kaca toko di pinggir jalan. Aksi anarkis sebagian oknum ini membabi buta, tidak sedikit pula pot-pot bunga pengindah kota yang dihancurkan oknum ini. Nama bobotoh menjadi rusak. Akibat aksi itu, banyak inohong-inohong Bandung yang menyayangkan. Bahkan, dalam album kompilasi Viking Persib jilid-2, banyak lagu yang bernada ngageuing bagi bobotoh untuk bersikap dewasa, seperti lagu Doel Sumbang dan band Sendal Jepit dengan judul “Jangan Rusak Kotaku”.

Di medio awal 2000-an, sebetulnya bukan hanya Persib dan bobotoh yang namanya menjadi rusak, persepakbolaan nasional juga sempat berada di titik nadir. Pada beberapa musim, Liga Indonesia menjadi ajang bentrokan suporter, aksi tinju para pemain, juga aksi pengeroyokan terhadap wasit. Liga Indonesia saat itu begitu ditakuti khalayak. Tidak ada yang patut dibanggakan dari persepakbolaan nasional saat itu. Kembali pada Persib dan bobotoh. Nama bobotoh yang sempat di cap jelek oleh masyarakat Jawa Barat, perlahan mulai membaik. Kedewasaan bobotoh mulai menghadirkan simpatik bagi warga Bandung, hal itu terlihat ketika para mojang Bandung mulai berani datang ke stadion untuk menyaksikan Persib dalam keadaan aman tanpa rasa takut.


Bobotoh memiliki peran penting dalam perjalanan Persib. Tak jarang kritikan dan teriakan bobotoh menjadi penentu langkah Persib dalam menentukan skuad tim Maung Bandung. Liga Indonesia XII menjadi bukti. Bobotoh mampu melengserkan Risnandar dari kursi pelatih Persib yang baru saja memimpin dalam dua laga. Kekalahan beruntun dari PSIS dan Persijap membuat bobotoh berdemo dan Risnandar pun memilih mundur karena tak kuat menahan tekanan yang begitu besar. Nama besar Risnandar sebagai legenda Persib seakan hilang saat itu, mengerikan. Di musim itu pula, prestasi Persib jauh dari harapan, dan ketakutan bobotoh anarkis kembali ada. Beruntung, bobotoh sudah benar-benar dewasa saat itu. Walaupun Persib sering mengalami kekalahan, tidak terjadi lagi aksi merusak kota dari bobotoh sepulang menonton laga Persib yang dibalut kekecewaan jika kalah di kandang.

Ada perbedaan karakter bobotoh dari masa ke masa dalam mendukung Persib. Menurut saya, bobotoh di era perserikatan mendukung dengan sangat fair sesuai relita di lapangan. Berbeda dengan bobotoh saat ini yang mendukung dengan fanatisme yang berlebihan, sehingga menimbulkan efek kurang baik juga bagi tim. Begini, Persib di mata bobotoh saat ini, adalah Persib yang seolah tak pernah bermain jelek. Dimata bobotoh, Persib selalu bermain bagus, eleh meunang Persib nu aing. Kalimat tersebut menyiratkan bobotoh sejati, memang. Itu pula yang saya rasakan, selalu muncul alibi dalam benak saya ketika menyaksikan Persib bermain butut dan kalah. Mungkin karena belum kompak, mungkin kelelahan, mungkin juga kurang beruntung, atau alibi-alibi lainnya untuk mengobati kekecewaan dan Persib tetaplah tim super yang tak pernah bermain jelek.

Hal berbeda akan terucap dari mulut para boboko (bobotoh kolot), cacian dan makian akan keluar dari para boboko ketika Persib bermain kurang bagus. Kalimat “Persib butut” seolah tak ragu diucapkan oleh boboko. Bapak saya termasuk salah satunya, sehingga saat menyaksikan Persib di layar kaca, saya memilih tidak menonton bareng dengan bapak. Tidak ada yang salah dari cara bobotoh beda generasi dalam mendukung Persib, karena perbedaan itulah yang menjadikan Persib mampu berprestasi. Tinggal bagaimana semua bobotoh menyikapi cara mendukung tim yang beragam dari setiap individunya.

Mari, tetap dukung Persib make manah anu sehat. Jangan menyematkan bobotoh karbitan pada orang yang kecewa pada Persib. Ajat Sudrajat, legenda Persib, tentu akan sangat berterima kasih pada bobotoh yang telah memakinya, karena dengan itu ia mampu mengeluarkan semua kemampuannya. Lagipula cacian seperti itu bukan berarti sang pencaci membenci Persib untuk selamanya, hanya sebuah rasa sayang yang reaksinya demikian. Akhirnya kita semua harus sadar, bobotoh memiliki keberagaman dalam mendukung tim kesayangannya. Dukungan yang diberikan bobotoh era sekarang mungkin cenderung pembelaan yang didasari rasa cinta yang katanya buta. Tapi kita juga harus menghormati cara mendukung sepuh kita yang memiliki perbedaan. Karena Persib bukan hanya nu aing, mereka-mereka juga merasa jika Persib miliknya. Salam damai....

Indra Jaya