Dari tahun ke tahun, sepak bola
selalu mengalami perkembangan. Perkembangan-perkembangan yang ada di sepak
bola, sedikit banyak mempengaruhi kemajuan sepak bola di beberapa negara yang
mengikuti dan memanfaatkan perkembangan tersebut. Dahulu, ketika sepak bola
masih mengandalkan kemampuan alamiah seorang pemain, Indonesia dapat berbicara
banyak di pentas sepak bola internasional. Namun seiring berkembangnya
permainan sepak bola, prestasi tim nasional Indonesia mulai tertinggal
dibandingkan dengan tim-tim lain yang dulu tak sebagus Tim Merah Putih. Harus
diakui, Indonesia memang terlambat dalam membangun persepakbolaan. Ketika
negara-negara lain telah membangun persepakbolaan menjadi lebih kompleks dan
modern, Indonesia seakan masih tetap yakin pada bakat-bakat alamiah para
pemainnya. Terlalu jauh memang apabila kita membandingkan persepakbolaan
nasional dengan sepak bola negara-negara besar di Eropa dan Amerika Selatan.
Tetapi, hal itu pun bukan sebuah kekeliruan, justru sepak bola kita butuh
pembanding agar dapat terlihat dimana letak kesalahan dan kekurangan yang ada
di sepak bola Indonesia.
Oficial Tim
Terjadi perbedaan yang sangat
mencolok antara tim nasional atau klub lokal dengan tim-tim sepak bola kelas
dunia. Di beberapa klub lokal, kelengkapan staf di tim biasanya hanya terfokus
pada penetapan manajer, pelatih kepala, asisten pelatih tehnik, pelatih fisik,
fisioterapi, dan dokter tim. Dua jabatan terakhir, telah menghiasi
persepakbolaan Indonesia dalam beberapa tahun ini. Patut disyukuri, karena
keberadaan fisioterapi dan dokter tim memang sangat diperlukan dalam permainan
yang cukup keras ini. Namun seharusnya tidak cukup sampai disitu, keberadaan nutrisionis
(ahli gizi) dalam sebuah tim tentu diperlukan juga. Asupan gizi yang baik bagi
kegiatan olahraga yang dilakukan selama 90 menit dengan intensitas yang fluktuatif
(tetapi lebih dominan tinggi), merupakan salah satu faktor penting untuk
menunjang prestasi. Jumlah gizi yang diperlukan sebelum dan setelah pertandingan/
latihan dapat mempengaruhi penampilan pemain di lapangan. Kondisi seperti itu belum
dapat direalisasikan oleh beberapa klub, hanya sedikit klub yang menggunakan
jasa nutrisionis di Liga Indonesia. Gizi, bagi seorang atlet memang bukan
faktor utama untuk meraih kesuksesan, namun asupan gizi bagi atlet adalah salah
satu faktor untuk meraih prestasi.
Kemudian keberadaan tim analis, tidak
banyak klub sepak bola Indonesia yang memakai jasa tim analis untuk mengevaluasi
kinerja para pemainnya. Sejauh ini, evaluasi hanya dilakukan oleh pengamatan
langsung pelatih kepala dan para asistennya. Jika saja klub mau memakai jasa
tim analis, maka evaluasi yang dilakukan untuk melihat sejauh mana kinerja
pemain di lapangan, akan terlihat sangat jelas kelebihan dan kekurangan setiap
masing-masing pemain. Karena tim analis tugasnya hanya memantau satu pemain di
lapangan, tanpa harus terganggu dengan penilaian terhadap pemain lain. Namun
sayangnya, masih belum banyak klub yang memakai jasa tim analis untuk mengevaluasi
kinerja para pemain yang bertanding. Rahasia sukses timnas U-19 saat menjuarai
Piala AFF U-19, adalah adanya tim analis dalam setiap pertandingan. Feedback-nya, tentu evaluasi yang
dilakukan lebih spesifik.
Hal lainnya, klub-klub di Indonesia
masih belum mau melibatkan ahli-ahli olahragawan yang ada di lingkungannya
masing-masing. Cendikiawan olahraga yang ada di Perguruan Tinggi atau Sekolah
Tinggi sebenarnya dapat membantu mengembangkan prestasi sebuah tim. Klub-klub
besar di benua Eropa, sudah sejak lama bekerjasama dengan para ilmuwan olahraga
untuk membantu tim dalam meningkatkan prestasinya. Keberadaan ilmuwan olahraga telah
memiliki peran yang jelas untuk membantu sebuah klub. Menyesuaikan pola latihan
dengan suhu di tempat berlatih, menganalisis kelebihan dan kekurangan tim lawan
secara langsung, pengenalan aturan permainan yang selalu mengalami penyegaran
setiap lima tahun sekali dan beberapa hal lain yang bisa diberikan untuk
kemajuan tim bisa didapat dengan melibatkan para ahli olahraga. Sehingga
kemajuan suatu klub dapat ditingkatkan dari berbagai hal.
Diklat Persib pernah melakukan
hal tersebut ketika ditangani oleh Jaino Matos yang memilih Fakultas Pendidikan
Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan Indonesia (FPOK UPI) sebagai
mitra dalam membangun tim Maung Ngora.
FPOK UPI dipilih karena memiliki para ahli di bidang olahraga dan juga
ditunjang dengan kelengkapan alat-alat biomekanika yang memadai untuk analisis
gerak kegiatan olahraga.
Pembinaan
Satu
kata yang sebetulnya sudah sangat dipahami oleh semua insan sepak bola
nasional, bahwa pembinaan pemain muda adalah hal yang sangat penting bagi kemajuan
suatu tim. Pemenang tropi Piala Dunia 2014, Jerman, mengakui bahwa gelar juara
yang diraihnya merupakan hasil pembinaan yang telah dilakukan dalam kurun waktu
yang tidak sebentar. Bagaimana dengan Indonesia? Akan muncul banyak jawaban
mengapa pembinaan yang dilakukan PSSI masih belum membuahkan hasil manis. Yang utama, saya mengutamakan pembinaan di akar rumput yang selalu keluar dari
koridor pembinaan yang seharusnya. Sekolah Sepak Bola (SSB), walaupun jumlahnya
begitu banyak, tapi hingga saat ini, belum ada pemain yang terlahir untuk
memberikan prestasi bagi tim nasional senior. Tidak usah muluk-muluk menjadi
juara dunia atau Asia, regional Asia Tenggara saja tim Garuda belum pernah
menjadi yang terbaik. SSB, saat ini telah banyak menyimpang dari tujuan
utamanya sebagai wadah untuk membina. Saat ini tidak sedikit petinggi SSB yang
justru ingin mengoleksi tropi demi menarik minat para orang tua agar mau
memasukkan anaknya di SSB langganan juara.
Pembinaan
kita, menurut saya, justru sudah kelewat modern, karena memaksakan anak untuk
melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh pemain yang lebih senior darinya. Pembinaan seharusnya dilakukan sesuai jenjang dan tingkatannya
masing-masing. Adanya kompetisi/ turnamen level nasional dan internasional
memberikan stimulus pada pelaku pembinaan untuk mengantarkan timnya menjadi
juara. Efeknya, latihan dengan intensitas dan volume yang melebihi takaran usia
anak sering diberikan bagi pemain yang seharusnya belum mereka terima. Hasilnya
memang bagus namun bersifat sesaat, di kelompok usia, Indonesia selalu meraih
prestasi internasional. Bahkan sempat mengalahkan tim-tim besar Eropa.
Kenapa
bisa anak-anak muda Indonesia mengalahkan tim-tim besar tersebut? Karena itu
tadi, anak-anak Indonesia sudah modern dengan mengenal kompetisi yang tujuannya
sebuah tropi dan juga pola latihan yang mengarah pada prestasi, bukan
pengembangan potensi. Sedangkan anak-anak di negara yang sudah maju, melakukan
pembinaan melalui tahapan demi tahapan yang seharusnya, tidak mau akselerasi
seperti pembinaan kita. Marilah kita
kembalikan pembinaan kita pada yang seharusnya. Bukan hanya pelatih dan
pengurus SSB yang harus merubah tujuan pembinaan, diperlukan peran dan
pemahaman orang tua juga untuk merealisasikan pembinaan ke arah yang lebih
baik.
Kualitas Liga
Tahun
1994, PSSI membentuk liga baru gabungan dari kompetisi Perserikatan (amatir)
dan Galatama (semi pro), jadilah Liga Indonesia. Pada liga yang pertama
kalinya dijuarai oleh Persib ini, PSSI berharap tim-tim di Indonesia bisa
menjadi tim profesional. Namun nyatanya, selama 13 tahun, tim-tim Liga
Indonesia masih didanai oleh APBD daerah masing-masing. Tahun 2008, Liga Super
Indonesia terbentuk, tujuannya masih sama seperti membentuk Liga Indonesia
1994. Memasuki tahun ke-7, beberapa klub telah mandiri dan lepas dari dana
APBD. Tetapi tidak sedikit pula tim yang tak layak verifikasi, entah itu karena
keuangan yang tidak sehat, maupun tidak memiliki lapangan yang memadai.
Liga
Super Indonesia, yang kini berubah menjadi QNB League, sebagai liga tertinggi
di tanah air memang memiliki daya tarik luar biasa bagi penikmat sepak bola. Tak
heran, jika LSI sempat masuk ke dalam sepuluh besar liga paling semarak di Asia,
namun semarak saja tidaklah cukup. Tinggal bagaimana PT Liga, selaku operator
kompetisi, menjalankan liga dengan baik.
Musim
ini, QNB League memasuki edisi ke-7, seharusnya kompetisi kasta terteringgi ini
menunjukkan progres yang baik. Namun sebelum liga bergulir, ada
ketidaksepahaman antara PSSI, PT Liga, dan BOPI. Berawal dari mundurnya kick off QNB, yang semestinya tidak
boleh ada intervensi dari pihak pemerintah. Tidak hanya sampai disitu, pemerintah,
melalui BOPI dan Kemenpora juga melarang Arema dan Persebaya untuk mengikuti
liga karena dianggap belum memenuhi semua syarat. Awalnya, kontestan QNB League
yang semula 18 tim, BOPI menyarankan hanya 16 tim. Namun, PSSI dan PT Liga keukeuh menjalankan kompetisi dengan 18
tim.
Ketika
liga sudah berjalan, operator liga kembali merubah jadwal kompetisi dengan
mengundur sejumlah pertandingan di tanggal 12-25 April. Setelah itu, Kemenpora membekukan PSSI saat kepengurusan baru PSSI dibentuk, sehari sebelum PSSI berulang tahun. Kenapa selalu seperti
ini liga tertinggi di negeri kita? Di saat tim sedang belajar menuju
profesional, sang induk sepak bola dan lembaga pemerintahan seakan memberikan
contoh yang tidak profesional. Semoga polemik ini menjadi yang terakhir dan
tidak pernah lagi muncul hal-hal yang tidak profesional di persepakbolaan kita.
PSSI dan Kemenpora harus segera menemukan solusi terbaik dan mau duduk bersama
untuk membangun persepakbolaan yang sudah terlanjur menjadi hiburan rakyat dan
sumber mata pencaharian (bagi pelaku langsung maupun pelaku tidak langsung).
Metode Latihan Modern
Selanjutnya,
saya ingin membahas tentang metode latihan. Saat ini, sedang ramai para pelatih
sepak bola Eropa memakai metode latihan footbal
conditioning. Bahkan, salah satu akademi terbaik di dunia, Feyenoord,
sukses mencetak pemain-pemain hebat di tim nasional junior Belanda saat ini
melalui metode football conditioning.
Selain itu, ada modernisasi one day one
training yang pernah dipakai Real Madrid, atau juga sepak bola possesion ala Barcelona. Tim-tim
tersebut memang sukses menjadi tim yang ditakuti di Eropa, bahkan dunia. Mereka
ditunjang dengan fasilitas yang sangat komplit, sumber daya pelatih dan pemain
yang memiliki intelektual tinggi, dan juga fondasi fisik, tehnik, dan gizi
pemain yang memang sudah sesuai standar pesepakbola profesional. Apakah bisa
sepak bola Indonesia memakai metode-metode modern di atas?
Sebelum
menjawab, saya ingin mengatakan sesuatu hal terlebih dahulu. Tidak ada metode
latihan yang jelek, tidak ada metode latihan yang bagus, yang ada adalah cocok
atau tidak metode latihan itu digunakan. Nah, seperti yang saya katakan di
atas, tim-tim besar seperti Feyenoord, Real Madrid, dan Barcelona, cocok
menggunakan metode-metode latihan yang dianutnya, karena ditunjang dengan
berbagai hal yang telah saya jelaskan di atas. Lalu, saya ulang kembali, apakah
sepak bola Indonesia bisa memakai metode modern tersebut? Jawabannya, bisa.
Tetapi entah berapa lama membuahkan hasil seperti tim-tim Eropa.
Namun,
saya menilai, saat ini sepak bola Indonesia belum cocok menggunakan metode
modern seperti tim-tim Eropa. Hal ini bukan suatu rasa pesimistis, atau
keraguan terhadap penerapannya, namun masih banyak faktor penunjang lainnya
yang harus dipersiapkan terlebih dahulu sebelum memilih metode modern seperti
di Eropa. Beberapa pelatih beken Indonesia telah menerapkan metode-metode
modern tersebut pada tim yang diasuhnya, namun belum memberikan hasil seperti
yang diraih tim yang mereka tiru. Kenapa seperti itu, bukankah metodenya sama?
Iya, metode yang digunakan sama, namun bagaimana dengan fasilitas penunjangnya,
bagaimana dengan intelektual pemainnya? Bagaimana juga dengan fondasi fisik,
tehnik dan gizi yang dimiliki pemain kita? Bukan saya mengerdilkan pemain kita.
Namun, kita harus selektif dalam memilih sesuatu, jangan asal jiplak karena
melihat hasil yang diperoleh tanpa melihat prosesnya seperti apa dan bagaimana.
Kita
bahas tentang sepak bola possesion, tim Barca bisa sukses dengan tiki-takanya
karena ditunjang pemain yang memiliki tehnik bola yang sempurna. Diperlukan passing akurat, kontrol bola yang baik,
visi bermain yang bagus, pergerakan tanpa bola yang baik, kerjasama tim yang
bagus, dan tentu kondisi lapangan yang baik pula. Kita bahas kemampuan passing, kontrol bola, dan visi bermain
pemain. Para pemain mutlak harus
memiliki itu semua jika ingin menganut sepak bola possesion. Jika tidak, tentu metode yang digunakan tidak akan
berjalan dengan baik. Sedangkan, menurut penulis, permainan seperti itu belum
menjadi ciri dari pemain Indonesia. Para pemain kita lebih senang menunjukkan skill bermain dengan kemampuan
individunya. Tidak bisa dipungkiri, pelatih, penonton dan pemain sendiri lebih
senang dan seakan terlihat “wah” jika
mampu melewati lawan dengan skill
yang ciamik. Hal yang telah menjadi karakter dan akan berimbas pada kerjasama
tim yang diperlukan dalam sepak bola possesion.
Apalagi adanya tuntutan menang dari berbagai pihak, membuat permainan mengarah
pada tujuan untuk membuat gol cepat, sehingga membentuk karakter pemain yang
tidak memiliki kesabaran dalam bermain. Lalu kondisi lapangan, di Indonesia
belum semua lapangan memiliki struktur yang rata, aliran bola masih terlihat
berjalan tidak baik. Hal ini tentu mempersulit pemain untuk mengontrol bola.
Saya
yakin, suatu saat nanti, Indonesia akan kembali terbang tinggi di persepakbolaan
dunia jika terus mau belajar, berusaha dan bekerja keras dengan dibarengi
kecerdasan dan rasionalitas. Tentu semua itu harus dibangun dari berbagai aspek
dan dibutuhkan pula kerjasama semua pelaku sepak bola, baik itu pelaku langsung
maupun tidak langsung. Sudah terlalu lama kita tertidur, ketika negara-negara
lain telah berlari menuju sepak bola profesional dan modern. Ayo, Indonesia pun
bisa!
Penulis,
Indra Jaya