Jumat, 09 Oktober 2015

Persib Juara Lagi Tahun 2033?

                30 Juli 1995 silam, Persib Bandung berhasil menjadi kampiun Liga Indonesia pertama dengan skuat 100% pemain lokal. Pada liga perpaduan kompetisi Perserikatan dan Galatama ini, Robby Darwis saparakanca berhasil mengalahkan Petrokimia Putra dengan skor 1-0 melalui gol Sutiono Lamso. Namun setelah momen bersejarah tersebut, Maung Bandung harus menunggu hampir dua dekade untuk kembali menjadi yang terbaik di pentas sepak bola nasional. Tahun 2014, Persib keluar sebagai juara ISL ketika format kompetisi berubah dibagi menjadi dua wilayah. Selisih yang tepat jika melihat tahun saat Pangeran Biru meraih gelar juara adalah 19 tahun. Dalam dunia sepak bola, terdapat istilah siklus dimana sebuah tim bisa meraih gelar juara.

                Jika melihat selisih angka juara Persib saat ini yang berada di angka 19, tentu semua bobotoh tidak mengharapkan siklus ini dimiliki Persib. Karena jika siklus ini menaungi Persib, artinya Persib akan kembali juara sembilan belas tahun kemudian, yakni di tahun 2033, ketika usia Persib mencapai satu abad. Walaupun meraih gelar juara di usia ke-100 tahun adalah hal yang istimewa, namun penantian selama sembilan belas tahun adalah penantian yang terlalu lama bagi tim sebesar Persib.

                Saat ini, dalam sepak bola Indonesia, pemilik siklus juara terpendek adalah Persipura Jayapura. Terhitung dari kompetisi LSI edisi pertama yang dimulai tahun 2008 dan berakhir di tahun 2009, tim Mutiara Hitam berhasil meraih gelar juara sebanyak tiga kali dalam kurun waktu lima tahun. Siklus juara tim yang identik dengan Boaz Salosa ini hanya terjadi dalam dua tahun sekali. Persipura kembali meraih juara pada LSI edisi ketiga di tahun 2011, karena di musim sebelumnya hanya menempati posisi runner up di bawah Arema yang berhasil merebut Piala dari tanah Papua. Memasuki tahun genap, 2012, Persipura kembali lagi kehilangan mahkota juara setelah tim asal Palembang, Sriwijaya FC sukses menjadi juara. Posisi Persipura kembali berada satu tingkat di bawah sang juara, yakni di posisi runner up. Dua tahun setelah menjadi juara di musim 2011, anak-anak Papua merebut kembali mahkota juara dari bumi Sriwijaya. Tahun 2014, saat Persipura bersua Persib di partai final ISL di Palembang, penulis yakin Persipura akan gagal meraih juara. Karena tahun tersebut bukanlah siklus juara Persipura, melainkan siklus runner up yang secara kebetulan selalu berada di tahun yang genap. Terbukti, melalui drama adu penalti, tim Maung Bandung-lah yang keluar sebagai tim juara dan Persipura pun harus tunduk pada “aturan” siklus yang telah mereka miliki.

                Jika menilik pada catatan di atas, maka keberadaan siklus bukan hanya mitos belaka dalam sepak bola. Persipura telah membuktikan dengan siklus juara setiap dua tahun sekali dan runner up dalam rentan waktu yang sama. Kembali pada Persib, apakah tim kebanggaan Jawa Barat ini akan kembali juara pada tahun 2033? Tentu para bobotoh sa alam dunya tidak mengharapkan hal itu. Tepis jauh-jauh siklus juara Persib setiap sembilan belas tahun sekali yang memang belum terbukti. Persib sebetulnya juga memiliki siklus juara yang pendek, yaitu setiap empat tahun sekali.

                Siklus ini bermula ketika Persib berhasil menjadi juara pada kompetisi Perserikatan tahun 1986, saat masih dipimpin oleh kapten Adeng Hudaya. Empat tahun kemudian, gelar juara kembali diraih Robby Darwis yang juga merupakan gelar keduanya bersama Persib. Tahun 1994, juga empat tahun setelah Persib meraih gelar juara, “maung-maung” dari tanah Pasundan berhasil memboyong dan membumikan lagi piala kompetisi Perserikatan edisi terakhir. Bahkan setahun kemudian Persib mampu meraih juara liga pertama, gelar itu merupakan gelar terakhir kapten tim dan juga legenda Persib, Robby Darwis yang juga memegang rekor sebagai pemain Persib yang meraih gelar juara terbanyak bersama tim Pangeran Biru (4 kali juara).

Jika melihat siklus tersebut, ada harapan dari para bobotoh agar Persib mampu meraih gelar juara lagi dalam tempo waktu yang tidak terlalu lama. Bahkan bisa saja Persib baru akan memulai menentukan siklus juara yang sangat pendek seperti Persipura. Karena masa keemasan Persib telah muncul, saatnya mempertahankan dan memelihara tradisi juara. Sembilan belas tahun Persib “bertahan” tanpa meraih gelar juara liga, maka dalam kurun waktu yang lama pula harusnya Persib dapat bertahan dengan predikat tim juara dengan meraih mahkota dan tropi, bukan tim dengan julukan “juara tanpa mahkota”. Ayo Sib, susul jumlah bintang yang ada di atas logo Persipura. Tim dengan jumlah supporter terbesar di Asia Tenggara dan selalu dihuni para pemain bintang seperti Persib, tentu layak memiliki koleksi gelar setara atau lebih dari yang dimiliki oleh Persipura, yang juga telah menjelma menjadi tim besar dalam sepuluh tahun terakhir setelah menjadi juara tahun 2005. Lakukanlah, Sib…!

Penulis,

Indra Jaya
Bobotoh Persib

Sepak Bola (Itu) Pemersatu Bangsa

Jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka, sepak bola telah dikenal dan dimainkan oleh masyarakat Indonesia. Bahkan, olahraga permainan ini dijadikan media para aktivis putra-putra bangsa untuk berkumpul merencanakan kemerdekaan. Lima belas tahun sebelum Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Ir. Soeratin dkk. telah lebih dulu mendirikan organisasi sepak bola, PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) pada 19 April 1930. Niat tulus membentuk PSSI itu akhirnya berbuah manis, bahkan berkontribusi terhadap kemerdekaan dan  persatuan bangsa. Hingga akhirnya, saat ini sepak bola telah menjadi olahraga paling digemari di Indonesia. Sepak bola telah menyatukan masyarakat Indonesia yang heterogen menjadi satu warna saat skuat timnas Merah-Putih berlaga di atas rumput Gelora Bung Karno.


Tidak hanya itu, sepak bola pun telah memberikan kehidupan untuk para pelaku langsung olahraga tersebut (pemain dan pelatih), hingga para pelaku tidak langsung permainan yang dimainkan oleh 22 pemain ini. Situasi seperti itu tentu salah satu yang diharapkan oleh sang pendiri, disamping menunggu prestasi timnas di pentas internasional.

Namun, semua hal yang membawa kebaikan itu mulai sedikit terkikis. Sepak bola Indonesia memang sempat mengalami kejayaan dan keterpurukan, namun konflik yang terjadi saat ini merupakan yang terburuk sepanjang sejarah. Sebelum Menpora dan PSSI berseteru, sepak bola Indonesia telah dicoreng terlebih dahulu oleh “sepak bola gajah” yang dimainkan oleh PSIS Semarang dan PSS Sleman. Saat itu, PSSI menjadi sorotan bahwa didalamnya terdapat banyak mafia sepak bola yang menjauhkan sepak bola pada nilai-nilai sportivitas. Melihat situasi yang demikian, pemerintah melalui Menpora ikut campur membenahi PSSI.

Tetapi yang terjadi hanyalah konflik yang hingga saat ini belum juga usai. Tepat di hari jadi PSSI yang ke-85, Menpora membekukan PSSI sehingga semua kegiatan sepak bola gagasan PSSI mati. Bahkan FIFA memberikan sanksi pada Indonesia karena dianggap melanggar kode etik FIFA ketika kepengurusan sepak bola dicampuri oleh pemerintah. Ribuan pemain dan pelatih pun kehilangan pekerjaan, para penjual jersey dan pernak-pernik klub menjerit karena berkurangnya pendapatan, para pedagang yang biasanya mengais rezeki di area stadion juga tidak dapat lagi mendapatkan rezeki berlimpah seperti saat digelar suatu pertandingan. Dan seluruh penggemar sepak bola tanah air telah kehilangan hiburan murah yang selama ini mengisi kehidupan mereka.

Tentu hal ini bukanlah sesuatu yang diharapkan oleh Ir. Soeratin, mungkin sang “pahlawan sepak bola” kita tengah bersedih di alam yang lain melihat kondisi sepak bola yang kacau balau. Semoga beliau tidak larut dalam kesedihan yang belum tahu dimana ujungnya. Sepak bola kita telah dihancurkan oleh kita sendiri, Pak, khususnya mereka yang memiliki peran dalam menahkodai kegiatan sepak bola di negeri ini. PSSI dan Menpora telah mengubah sepak bola kita ke arah yang belum tahu akan seperti apa nantinya. Namun, untuk kedua pihak yang berkonflik itu, berhentilah bergesekan, ubahlah sepak bola ke arah yang lebih baik secepat mungkin, sehingga sang Ketua PSSI pertama dapat kembali tersenyum di dunia sana.

Persatuan kelompok suporter akan menjadikan sepak bola semakin indah.
Satu hal lagi yang tidak diharapkan hadir dan malah bertentangan dengan proses terbentuknya PSSI adalah perpecahan antar supporter sepak bola. Bukankah sepak bola telah menyatukan bangsa ini saat Indonesia dalam situasi dijajah bangsa lain? Seharusnya hal itu dapat dipelihara oleh kita semua. Namun apa yang terjadi saat ini, sepak bola telah menjadi pemisah bangsa. Berbagai supporter terlalu berlebihan dalam mendukung kesebelasan  yang disayanginya. Imbasnya, muncul bentrokan dan permusuhan antar supporter yang hingga saat ini sulit untuk didamaikan. Bukankah sepak bola adalah media pemersatu bangsa Indonesia? Lalu mengapa saat ini kita ubah menjadi pemecah bangsa?

Marilah kita usung kembali semangat persatuan bangsa melalui sepak bola, kita padamkan api permusuhan dengan memunculkan tunas-tunas perdamaian dalam mendukung tim kesayangan kita. Memiliki rival atau musuh bebuyutan dalam sepak bola merupakan hal yang wajar, bahkan membanggakan. Namun tetap harus kita sikapi dengan sewajar-wajarnya, yaitu cukup saat kedua tim berlaga di atas lapangan saja. Menikmati pertandingan antar kedua kesebelasan, tanpa adanya terror yang berlebihan dari supporter, tanpa ada tawuran, perang antar suporter, dan tanpa adanya darah dan nyawa yang hilang akibat sikap fanatisme yang berlebihan.

Sepak bola adalah milik kita semua, maka dari itu, kita semua harus menjaga olahraga yang satu ini agar selalu hidup di tanah Ibu Pertiwi. Sepak bola yang terhindar dari konflik, yang bersih dari mafia, yang damai, yang memberikan kehidupan dan manfaat bagi semua orang. Dan yang utama yang sudah lama kita nantikan, sepak bola Indonesia harus kembali berprestasi di pentas internasional. Semoga…

Penulis,
Indra Jaya dan Risky Faradila