Rabu, 09 September 2015

Pembinaan Sepak Bola

Pembinaan Sepak Bola
Sepak bola adalah olahraga paling populer di dunia dan juga di negeri ini. Olahraga invasi yang dimainkan oleh 22 orang di atas lapangan ini telah berkembang, dari yang awalnya hanya olahraga permainan, kini telah menjadi sebuah industri dan juga lahan tempat mencari nafkah untuk para pelakunya. Bahkan, suatu negara  kecil dapat terlihat “besar” jika memiliki prestasi gemilang dalam persepakbolaan internasional. Namun kegemerlepan sepak bola belum mampu membuat Indonesia menjadi negara sepak bola yang memiliki prestasi cemerlang di pentas dunia. Kini, kita telah tertinggal jauh dari negara-negara Asia, banyak faktor yang membuat Indonesia tertinggal. Selain sarana prasarana, pembinaan pemain di Indonesia diakui semua pihak adalah hal yang paling berpengaruh terhadap tangguh atau tidaknya sebuah tim nasional yang kelak menentukan prestasi di kancah internasional.

Penulis yakin pembinaan memang tidak pernah putus di sepak bola kita, terbukti dengan semakin banyaknya SSB, Diklat, Akademi, hingga klub anggota PSSI pun semakin banyak. Sejauh ini, pembinaan sepak bola Indonesia belum dapat dikatakan sepenuhnya benar. Indonesia sudah jauh tertinggal dalam urusan membina pemain, bahkan oleh negara-negara ASEAN yang dulu bukan apa-apanya Indonesia. Jika merujuk pada apa yang disarankan FIFA, ada beberapa hal yang salah kaprah dalam pembinaan sepak bola di Indonesia.

Pembinaan pemain di Indonesia dapat dikatakan liar. PSSI, sebagai induk organisasi sepak bola seperti membiarkan para wadah pembinaan pemain berjalan dengan semaunya. Tanpa ada kontrol dan aturan yang dapat dijadikan standar membentuk, katakanlah SSB, Diklat, dll. Apa yang terjadi?  Tidak sedikit SSB yang melenceng dari tujuan yang seharusnya, bukannya membina tetapi malah berbisnis. Dalam hal ini, penulis ingin lebih mengurucut pada pola pembinaan yang sudah tidak sesuai anjuran FIFA yang telah dilakukan berpuluh-puluh tahun oleh para pelaku pembinaan sepak bola Indonesia. Yaitu, menyelenggarakan event kompetitif yang tujuannya pada perburuan tropi di kelompok umur.

Ketika para pemain yang masih berusia anak-anak hingga remaja diikutsertakan dalam ajang kompetitif, tentu hal tersebut belumlah tepat, karena dari sisi psikologis, anak akan lebih baik jika dibiarkan bersenang-senang daripada harus dibebani untuk meraih kemenangan dalam pertandingan. Pemenang mungkin akan merasakan kegembiraan, tapi bagi yang kalah, tentu hal sebaliknya akan dialami. Hal demikian juga akan berdampak pada mental anak untuk terus memikirkan tropi dan penghargaan lainnya. Imbasnya lebih luas lagi, telah banyak contoh hal yang tidak baik yang terjadi dalam event kompetitif kelompok umur. Diantaranya pencurian umur, perkelahian orang tua pemain saat mendukung anaknya bermain, dan pemberian materi latihan yang melebihi porsi latihan bagi anak, demi mencapai gelar juara.


Pencurian umur sudah menjadi hal yang lumrah dalam pembinaan pemain sepak bola kita. Asalkan dapat bermain rapi, identitas dimanipulasi sedemikian rapi, maka amanlah untuk bermain curang. Hal ini dilakukan oleh pelatih dan adanya peran serta orang tua yang harusnya mengarahkan anak pada kejujuran. Miris, justru ketika anak dalam proses perkembangan, ia dikenalkan pada kecurangan. Dari event kompetitif, tentu akan muncul atmosfer persaingan yang menguras emosi. Apalagi dalam event kelompok umur yang masih didampingi oleh orang tua. Akhir-akhir ini sering terjadi keributan antara orang tua pemain saat mendukung anak kesayangannya bertanding. Pemicunya banyak, selain anaknya yang mengalami keributan langsung di lapangan, juga dukungan yang berlebih agar anaknya meraih kemenangan seolah membutakan bahwa mereka sedang menyaksikan pembinaan.

Lalu, ketika sebuah tim telah menargetkan gelar juara dalam satu event yang kompetitif, tentunya akan ada persiapan latihan yang diarahkan untuk mewujudkan target tersebut. Salah satu SSB besar di Indonesia sempat mengakui kesalahan dalam memberikan materi latihan yang berat pada pemain kelompok umur. Hasilnya memang bagus, memuaskan, namun bersifat sesaat dan tidak memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan anak di kemudian hari. Bukankah pola latihan yang demikian akan berpengaruh kurang baik pada pertumbuhan anak?


Dalam suatu event yang kompetitif, apalagi tim menargetkan sebuah gelar juara, percayalah, tidak sedikit muncul permasalahan internal di tim itu sendiri. Seorang pelatih, sering mengalami kedilemaan untuk melakukan rotasi dengan porsi bermain yang sama. Apalagi jika kuota pemain “gemuk”, lalu penyelenggaran event menerapkan pergantian pemain yang pelit. Tak jarang banyak pemain yang tidak mendapatkan jatah bermain atau hanya bermain dengan menit bermain yang sedikit. Imbasnya anak akan kecewa, bahkan orang tua juga demikian dan terkadang melakukan protes pada pelatih. Banyak yang berpendapat jika hal demikian adalah wajar terjadi di SSB, tetapi bagi penulis, justru seharusnya tidak terjadi yang demikian.

Melalui tulisan ini, penulis ingin memberikan masukan bagi pembinaan yang selama ini berjalan di sepak bola usia dini. Berbagai macam problematika yang penulis ungkap akan dapat dikurangi, mungkin teratasi. Penulis tidak akan memberi masukan khusus pada seorang pelatih usia dini, manajemen SSB atau orang tua pemain. Saran yang akan penulis utarakan ini untuk lembaga PSSI dan para donator yang sering mengadakan turnamen sepak bola usia dini.

Turnamen merupakan kegiatan yang kompetitif yang didalamnya akan muncul juara, hal ini yang memicu problematika yang telah penulis utarakan di atas. Bagaimana jika turnamen usia dini yang selama ini, formatnya diganti dengan festival yang tidak usah menampilkan juara? Seluruh peserta hanya dipertandingkan dengan format ½ kompetisi dalam satu grup. Format ini tentu akan mempertemukan seluruh tim peserta, memang akan ada yang menang, seri dan kalah dalam suatu pertandingan. Namun tidak perlu ada point dan klasemen dalam festival tersebut. Kegiatan seperti ini tetap akan menjadi tolak ukur sejauh mana hasil latihan yang telah dijalani pemain. Para pelatih akan lebih tenang tanpa mendapat tekanan harus menang dari manajemen dan orang tua pemain, karena tidak ada tropi yang diperebutkan. Begitu pun para pemain, tidak terbebani oleh target yang harus memenangkan pertandingan. Secara otomatis, pencurian umur akan hilang, karena tidak ada target lebih untuk mencari gelar juara.

Para pemain hanya menikmati pertandingan dan pelatih cukup mengarahkan pemain pada cara bermain yang baik dan benar. Pelatih pun tidak akan ragu untuk melakukan rotasi, karena kalah dalam skor berapa pun tidak akan tercatat dalam klasemen. Maka hanya ada satu tujuan dalam event semacam ini, membantu mengembangkan potensi anak tanpa tekanan untuk meraih gelar. Para orang tua pun akan tetap terhibur dan yakinlah tidak akan ada nada kecewa karena anaknya minim jam bermain, karena pelatih akan leluasa dalam merotasi pemain.

Tetapi nantinya tidak akan berjalan seru jika tidak ada gelar juara, tidak akan greget. Untuk apa ikut pertandingan jika tidak ada juaranya? Pertanyaan seperti ini akan banyak bermunculan, wajar karena kita telah terbiasa dengan sistem turnamen yang bertujuan meraih tropi. Tetapi harus diketahui, FIFA justru menganjurkan bahwa pertandingan pembinaan usia dini hingga U-19 seharusnya tanpa memperebutkan tropi juara.

Ini tantangan untuk kita semua yang memiliki kepedulian terhadap pembinaan usia muda. Cara konvensional yang telah menjadi "budaya" dalam proses pembinaan telah terbukti, belum dapat menghadirkan prestasi bagi sepak bola Indonesia. Sebaliknya, berbagai kecurangan dan nilai yang kurang baik justru yang banyak bermunculan. Jika hal ini masih terlihat sulit dan kurang yakin akan menyedot peserta banyak, bersabarlah, karena ini merupakan cara baru yang belum populer di pembinaan kita. Namun jika cara ini ternyata memang sulit juga untuk membuka mata para pelaku pembinaan untuk mengembangkan potensi anak, bukan untuk mengedepankan kepentingan lembaga agar berprestasi yang akhirnya menjadi daya tarik orang tua untuk memasukkan anaknya pada SSB yang selalu juara, maka ada solusi lain yang akan penulis utarakan.

Sistem turnamen dengan format yang sudah terbiasa dijalani dalam pembinaan kita tetaplah jalani. Namun pihak penyelenggara turnamen dapat merubah aturan pertandingan. Salah satunya dengan membatasi kuota pemain maksimal 22 orang, sudah termasuk ke dalam line up . Kemudian, dalam setiap babak, pemain cadangan yang jumlahnya 11 wajib dimainkan. Hal ini akan membuat anak merasakan jam bertanding, meminimalisir kekecewaan anak dan orang tuanya jika tidak dimainkan dalam suatu laga. Selain itu, aura kompetitif juga masih terjaga, namun kali ini dapat dirasakan seluruh peserta yang mengikuti turnamen.

            Mari kita kembangkan potensi anak tanpa menyertakan tekanan untuk berprestasi saat dalam masa perkembangan dan pertumbuhannya. Mari kesampingkan berbagai kepentingan kita dan mulai memperbaiki sistem pembinaan yang selama ini masih terdapat berbagai masalah yang tidak kunjung usai dalam pembinaan usia dini.


Penulis,
Indra Jaya
Pelatih Sepak Bola Usia Dini