Pembinaan
Sepak Bola
Sepak bola
adalah olahraga paling populer di dunia dan juga di negeri ini. Olahraga invasi
yang dimainkan oleh 22 orang di atas lapangan ini telah berkembang, dari yang
awalnya hanya olahraga permainan, kini telah menjadi sebuah industri dan juga
lahan tempat mencari nafkah untuk para pelakunya. Bahkan, suatu negara kecil dapat terlihat “besar” jika memiliki
prestasi gemilang dalam persepakbolaan internasional. Namun kegemerlepan sepak
bola belum mampu membuat Indonesia menjadi negara sepak bola yang memiliki
prestasi cemerlang di pentas dunia. Kini, kita telah tertinggal jauh dari
negara-negara Asia, banyak faktor yang membuat Indonesia tertinggal. Selain
sarana prasarana, pembinaan pemain di Indonesia diakui semua pihak adalah hal
yang paling berpengaruh terhadap tangguh atau tidaknya sebuah tim nasional yang
kelak menentukan prestasi di kancah internasional.
Penulis yakin pembinaan memang
tidak pernah putus di sepak bola kita, terbukti dengan semakin banyaknya SSB,
Diklat, Akademi, hingga klub anggota PSSI pun semakin banyak. Sejauh ini, pembinaan sepak bola
Indonesia belum dapat dikatakan sepenuhnya benar. Indonesia sudah jauh
tertinggal dalam urusan membina pemain, bahkan oleh negara-negara ASEAN yang
dulu bukan apa-apanya Indonesia. Jika merujuk pada apa yang disarankan FIFA,
ada beberapa hal yang salah kaprah dalam pembinaan sepak bola di Indonesia.
Pembinaan pemain di Indonesia dapat
dikatakan liar. PSSI, sebagai induk organisasi sepak bola seperti membiarkan
para wadah pembinaan pemain berjalan dengan semaunya. Tanpa ada kontrol dan
aturan yang dapat dijadikan standar membentuk, katakanlah SSB, Diklat, dll. Apa
yang terjadi? Tidak sedikit SSB yang
melenceng dari tujuan yang seharusnya, bukannya membina tetapi malah berbisnis.
Dalam hal ini, penulis ingin lebih mengurucut pada pola pembinaan yang sudah
tidak sesuai anjuran FIFA yang telah dilakukan berpuluh-puluh tahun oleh para
pelaku pembinaan sepak bola Indonesia. Yaitu, menyelenggarakan event kompetitif yang tujuannya pada
perburuan tropi di kelompok umur.
Ketika para pemain yang masih berusia
anak-anak hingga remaja diikutsertakan dalam ajang kompetitif, tentu hal tersebut belumlah tepat, karena dari sisi psikologis, anak
akan lebih baik jika dibiarkan bersenang-senang daripada harus dibebani untuk
meraih kemenangan dalam pertandingan. Pemenang mungkin akan merasakan kegembiraan, tapi
bagi yang kalah, tentu hal sebaliknya akan dialami. Hal demikian juga akan
berdampak pada mental anak untuk terus memikirkan tropi dan penghargaan
lainnya. Imbasnya lebih luas lagi, telah banyak contoh hal yang tidak baik yang terjadi dalam event kompetitif kelompok umur.
Diantaranya pencurian umur, perkelahian orang tua pemain saat mendukung anaknya
bermain, dan pemberian materi latihan yang melebihi porsi latihan bagi anak, demi
mencapai gelar juara.
Pencurian umur sudah menjadi hal yang
lumrah dalam pembinaan pemain sepak bola kita. Asalkan dapat bermain rapi,
identitas dimanipulasi sedemikian rapi, maka amanlah untuk bermain curang. Hal
ini dilakukan oleh pelatih dan adanya peran serta orang tua yang harusnya
mengarahkan anak pada kejujuran. Miris, justru ketika anak dalam proses
perkembangan, ia dikenalkan pada kecurangan. Dari event kompetitif, tentu akan muncul atmosfer persaingan yang
menguras emosi. Apalagi dalam event
kelompok umur yang masih didampingi oleh orang tua. Akhir-akhir ini sering
terjadi keributan antara orang tua pemain saat mendukung anak kesayangannya
bertanding. Pemicunya banyak, selain anaknya yang mengalami keributan langsung
di lapangan, juga dukungan yang berlebih agar anaknya meraih kemenangan seolah
membutakan bahwa mereka sedang menyaksikan pembinaan.
Lalu, ketika sebuah tim telah
menargetkan gelar juara dalam satu event
yang kompetitif, tentunya akan ada persiapan latihan yang diarahkan untuk
mewujudkan target tersebut. Salah satu SSB besar di Indonesia sempat mengakui
kesalahan dalam memberikan materi latihan yang berat pada pemain kelompok umur.
Hasilnya memang bagus, memuaskan, namun bersifat sesaat dan tidak memperhatikan
perkembangan dan pertumbuhan anak di kemudian hari. Bukankah pola
latihan yang demikian akan berpengaruh kurang baik pada pertumbuhan anak?
Dalam suatu event yang kompetitif, apalagi tim
menargetkan sebuah gelar juara, percayalah, tidak sedikit muncul permasalahan
internal di tim itu sendiri. Seorang pelatih, sering mengalami kedilemaan untuk
melakukan rotasi dengan porsi bermain yang sama. Apalagi jika kuota pemain
“gemuk”, lalu penyelenggaran event
menerapkan pergantian pemain yang pelit. Tak jarang banyak pemain yang tidak
mendapatkan jatah bermain atau hanya bermain dengan menit bermain yang sedikit.
Imbasnya anak akan kecewa, bahkan orang tua juga demikian dan terkadang
melakukan protes pada pelatih. Banyak yang berpendapat jika hal demikian adalah
wajar terjadi di SSB, tetapi bagi penulis, justru seharusnya tidak terjadi yang
demikian.
Melalui
tulisan ini, penulis ingin memberikan masukan bagi pembinaan yang selama ini
berjalan di sepak bola usia dini. Berbagai macam problematika yang penulis
ungkap akan dapat dikurangi, mungkin teratasi. Penulis tidak akan memberi
masukan khusus pada seorang pelatih usia dini, manajemen SSB atau orang tua
pemain. Saran yang akan penulis utarakan ini untuk lembaga PSSI dan para
donator yang sering mengadakan turnamen sepak bola usia dini.
Turnamen
merupakan kegiatan yang kompetitif yang didalamnya akan muncul juara, hal ini
yang memicu problematika yang telah penulis utarakan di atas. Bagaimana jika
turnamen usia dini yang selama ini, formatnya diganti dengan festival yang tidak
usah menampilkan juara? Seluruh peserta hanya dipertandingkan dengan format ½
kompetisi dalam satu grup. Format ini tentu akan mempertemukan seluruh tim
peserta, memang akan ada yang menang, seri dan kalah dalam suatu pertandingan.
Namun tidak perlu ada point dan klasemen dalam festival tersebut. Kegiatan
seperti ini tetap akan menjadi tolak ukur sejauh mana hasil latihan yang telah
dijalani pemain. Para pelatih akan lebih tenang tanpa mendapat tekanan harus
menang dari manajemen dan orang tua pemain, karena tidak ada tropi yang
diperebutkan. Begitu pun para pemain, tidak terbebani oleh target yang harus
memenangkan pertandingan. Secara otomatis, pencurian umur akan hilang, karena
tidak ada target lebih untuk mencari gelar juara.
Para pemain
hanya menikmati pertandingan dan pelatih cukup mengarahkan pemain pada cara
bermain yang baik dan benar. Pelatih pun tidak akan ragu untuk melakukan
rotasi, karena kalah dalam skor berapa pun tidak akan tercatat dalam klasemen.
Maka hanya ada satu tujuan dalam event
semacam ini, membantu mengembangkan potensi anak tanpa tekanan untuk meraih
gelar. Para orang tua pun akan tetap terhibur dan yakinlah tidak akan ada nada
kecewa karena anaknya minim jam bermain, karena pelatih akan leluasa dalam
merotasi pemain.
Tetapi
nantinya tidak akan berjalan seru jika tidak ada gelar juara, tidak akan
greget. Untuk apa ikut pertandingan jika tidak ada juaranya? Pertanyaan seperti
ini akan banyak bermunculan, wajar karena kita telah terbiasa dengan sistem
turnamen yang bertujuan meraih tropi. Tetapi harus diketahui, FIFA justru
menganjurkan bahwa pertandingan pembinaan usia dini hingga U-19 seharusnya
tanpa memperebutkan tropi juara.
Ini tantangan
untuk kita semua yang memiliki kepedulian terhadap pembinaan usia muda. Cara
konvensional yang telah menjadi "budaya" dalam proses pembinaan telah terbukti,
belum dapat menghadirkan prestasi bagi sepak bola Indonesia. Sebaliknya,
berbagai kecurangan dan nilai yang kurang baik justru yang banyak bermunculan.
Jika hal ini masih terlihat sulit dan kurang yakin akan menyedot peserta
banyak, bersabarlah, karena ini merupakan cara baru yang belum populer di
pembinaan kita. Namun jika cara ini ternyata memang sulit juga untuk membuka
mata para pelaku pembinaan untuk mengembangkan potensi anak, bukan untuk
mengedepankan kepentingan lembaga agar berprestasi yang akhirnya menjadi daya
tarik orang tua untuk memasukkan anaknya pada SSB yang selalu juara, maka ada
solusi lain yang akan penulis utarakan.
Sistem
turnamen dengan format yang sudah terbiasa dijalani dalam pembinaan kita
tetaplah jalani. Namun pihak penyelenggara turnamen dapat merubah aturan
pertandingan. Salah satunya dengan membatasi kuota pemain maksimal 22 orang,
sudah termasuk ke dalam line up . Kemudian, dalam setiap babak, pemain cadangan
yang jumlahnya 11 wajib dimainkan. Hal ini akan membuat anak merasakan jam
bertanding, meminimalisir kekecewaan anak dan orang tuanya jika tidak dimainkan
dalam suatu laga. Selain itu, aura kompetitif juga masih terjaga, namun kali
ini dapat dirasakan seluruh peserta yang mengikuti turnamen.
Mari
kita kembangkan potensi anak tanpa menyertakan tekanan untuk berprestasi saat
dalam masa perkembangan dan pertumbuhannya. Mari kesampingkan berbagai
kepentingan kita dan mulai memperbaiki sistem pembinaan yang selama ini masih
terdapat berbagai masalah yang tidak kunjung usai dalam pembinaan usia dini.
Penulis,
Indra Jaya
Pelatih Sepak Bola Usia Dini